Acep Iwan Saidi
Selamat malam , Pak Presiden! Dari Daniel Sparringa , salah seorang staf Anda , yang berbitrik pada program Soegeng Sarjadi Syndicate di TVRI—maaf lupa tanggal tayangnya—saya menerima gosip bahwa Anda sering bangkit malam. Katanya lagi , Anda membaca dan merenung , memikirkan banyak sekali permasalahan bangsa yang kian hari kian jelimet , kian ruwet.
Oleh alasannya ialah itu , saya alamatkan surat ini kepada Anda yang begitu ”mengakrabi malam”. Saya pun menulisnya dalam larut , sehari Setelah menyaksikan kesaksian Angelina Sondakh untuk kasus yang kita semua sudah tahu belaka itu.
Angie yang anggun , kita juga tahu , ialah salah satu pejabat tinggi di partai yang Bapak bina. Maknanya , pribadi atau tidak , Angie ialah binaan Anda.
Pak Presiden , sebelumnya perlu Anda ketahui bahwa pada pemilihan presiden tahun 2004 , saya ialah salah seorang yang menentukan Anda.
Tentu saja , sebagai orang yang merasa diri intelektual , saya tidak sembarang memilih. Sebelum menentukan pilihan , saya merasa wajib untuk melaksanakan ”riset kecil-kecilan” , mulai dari menelusuri kehidupan masa kecil sampai sikap paling mutakhir para calon presiden ketika itu.
Pilihan saya jatuh kepada Anda alasannya ialah pada waktu itu Anda mengingatkan saya pada sosok Arok dalam roman Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer.
Tentang Arok
Dengarlah apa yang dicatat Pram perihal Arok melalui ekspresi tokoh Dang Hyang Lohgawe berikut ini. ”Dengan api Hyang Bathara Guru dalam dadamu , dengan ketajaman parasyu Hyang Ganesya , dengan keperkasaan Hyang Durga Mahisa suramardini , kaulah Arok , kaulah pembangun pemikiran , pembangun negeri sekaligus. Dengarkan kalian semua , semenjak detik ini , dalam kesaksian Hyang Bathara Guru yang berpadu dalam Brahma , Syiwa , dan Wisynu dengan semua syaktinya , saya turunkan pada anak ini nama yang bakal membawanya pada kenyataan sebagai bab dari cakrawati. Kenyataan itu sekarang masih membara dalam dirimu. Arok namamu” (1999: 53).
Demikianlah , Pak Presiden , imajinasi saya perihal Anda kala itu. Namun , dalam perjalanannya , perlahan-lahan imajinasi tersebut pupus. Entah alasannya ialah apa , dalam mata batin saya , gambaran tritunggal (Brahma , Syiwa , dan Wisynu) sirna dari diri Anda. Saya tidak lagi mencicipi sorot mata Sudra , sikap Satria , dan esensi Brahmana.
Hingga hari ini , Anda memang sangat santun , tetapi kesantunan itu terasa tak memiliki aura. Memandang Anda—Maknanya mencoba mengerti dan mendapatkan kepemimpinan Anda—saya menyerupai menatap sebuah potret dalam bingkai. Sebuah potret , tentu bukanlah realitas sebenarnya. Ia ialah realitas citra.
Barangkali tidak ada yang salah dengan Anda , Pak Presiden. Kekuasaan , dalam sejarah bangsa mana pun , memang memiliki aksara pengisap. Barangsiapa tidak bisa menaklukkannya , beliau bakal tersedot sampai ke rangka. Sirnanya tritunggal yang saya imajinasikan terdapat pada sosok Anda kiranya juga alasannya ialah isapan gravitasi kuasa tersebut.
Matinya tritunggal sedemikian meniscayakan hidupnya kelemahan tak terelakkan pada diri Anda. Lihatlah , sayap Anda patah. Anda tidak bisa menjadi ”Garuda Yang Terbang Sendiri”—meminjam judul drama Sanoesi Pane. Ada semacam kekhawatiran pada diri Anda kalau terbang sedemikian , yakni kecemasan untuk tidak bisa kembali hinggap pada takhta yang notabene mengisap Anda setrik terus-menerus itu. Anda lebih suka diisap daripada menyedot habis daya kuasa. Anda dikuasai , bukan menguasai.
Itulah kiranya , disadari atau tidak , yang membuat Anda selalu terjaga ketika larut menyerupai dikisahkan Sparringa. Tanpa keluh kesah kepada Sparringa , saya pikir tubuh Anda sendiri telah berbitrik. Di balik baju kebesaran presiden , Anda tidak bisa mengelak kalau sorot mata Anda makin sayu , satu-dua keriput bertambah di wajah Anda. Jika saja Anda bukan presiden , barangkali sepanjang hari Anda bakal tampak lusuh , layaknya seorang bapak yang capek memikirkan ulah anak-anaknya yang kelewat nakal. Wajah Anda tak lagi bersinar menyerupai sebelum jadi penguasa.
Gara-gara Korupsi
Pemberantasan korupsi yang menjadi jargon partai binaan Anda , Pak Presiden , itulah yang saya pikir menambah satu-dua kerutan di wajah Anda tahun-tahun terakhir ini. Saya yakin Anda dan keluarga tidak melaksanakan tindakan kriminal tersebut , tetapi Anda terjebak dalam kepungan para bandit.
Kiranya Anda juga sang pemilik gagasan besar jargon pemberantasan korupsi tadi sehingga dengan sangat yakin Anda memasang tubuh di barisan paling depan jagoan pembunuh koruptor. Sayang , nyatanya Anda dikhianati. Anda jadi sandera di dalam jargon yang Anda gagas. Akibatnya , Anda menjadi sangat lemah. Anda tahu kepada siapa Anda mesti murka , tetapi Anda juga tahu hal itu mustahil dilakukan. Ah , betapa menyakitkan hidup menyerupai itu.
Pak Presiden yang terhormat ,
Malam semakin larut , tetapi kian gelap dan sunyi di luar , kian benderang hati kita di dalam. Drama Nazar dan Angie pastilah bakal semakin terang kalau ditatap dalam suasana menyerupai ini.
Ketahuilah , penyelesaian kasus pelik yang menimpa mereka , juga banyak kasus lain , hanya bertumpu kepada Anda. Sekuat apa pun KPK , saya tidak yakin forum ini bisa menyelesaikannya. Anda mungkin tidak mengintervensi KPK dan penegak aturan dalam Makna negatif , tetapi ketahuilah , tangan Anda bisa memanjang tanpa Anda ketahui , kekuasaan Anda bisa membengkak tanpa Anda sadari.
Ingatlah selalu bahwa Anda sedang terus-menerus dikhianati. Kaprikornus , mohon keluarlah. Anda sudah bisa menguasai malam. Itu Maknanya Anda bisa menyongsong fajar ketika semua makhluk sedang lelap. Ini kali saatnya Anda meradang , dan menerjang—meminjam sajak Chairil Anwar. Jadilah garuda Agar saya menimbulkan Anda lambang yang selamanya terpatri di dada.
Saya seorang dosen , Pak Presiden. Nyaris setiap hari saya membitrikkan hal-hal ideal dengan mahasiswa. Kepada para mahasiswa saya selalu mengajarkan mimpi perihal Indonesia yang lebih baik di masa depan. Kaprikornus , tolong saya , Pak Presiden , tolong bantu saya untuk menimbulkan pemikiran itu bukan delusi , apalagi dusta.
Maka , jawablah permohonan ini dengan sebuah tindakan: bahwa besok pagi , ketika fajar tuntas memintal malam , Anda bakal menjadi presiden yang revolusioner. Atas apa pun yang berjulukan kuasa , jadikanlah diri Anda Arok , sang pembangun itu!
Acep Iwan Saidi , Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Surat Untuk Presiden"