Arianto A Patunru
19 September 2012
Eric Maskin , pemenang Nobel Ekonomi 2007 , beberapa waktu kemudian berada di Jakarta dalam program Human Development and Capability Association.
Presentasinya mengenai mengapa pasar global belum bisa mengurangi ketimpangan di negara miskin. Pertumbuhan ekonomi di dunia telah mengangkat banyak penduduk bumi dari kemiskinan , tetapi ketimpangan ternyata justru bertambah.
Hal ini tampak bertentangan dengan prediksi ekonom Inggris klasik , David Ricardo , dua masa lalu. Teori keunggulan komparatif menyampaikan , kalau ada dua negara dengan tingkat keterampilan pekerja yang berbeda saling berdagang , rujukan perdagangannya bakal mencerminkan perbedaan tersebut.
Jika negara pertama memiliki banyak pekerja dengan tingkat keterampilan tinggi (sebutlah tingkat A) dan negara kedua didominasi pekerja berketerampilan rendah (D) , setrik alamiah perdagangan terjadi di mana negara pertama bakal berspesialisasi pada produk yang menggunakan pekerja terampil dan negara kedua pada produk yang relatif tak membutuhkan tenaga kerja terampil. Tiap negara mendapatkan kedua barang dengan lebih murah. Total kesejahteraan sosial bakal lebih tinggi dibandingkan kalau masing-masing memproduksi kedua barang tanpa perdagangan.
Salah satu implikasinya , menyerupai yang dijelaskan dalam model Heckscher-Ohlin , ketimpangan di negara miskin (baca: negara kedua) berkurang alasannya undangan bakal pekerja kurang terampil di negara tersebut meningkat. Upahnya pun meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada pekerja terampil di negara tersebut. Teori ini sukses menjelaskan fenomena perdagangan dunia paling tidak hingga paruh kedua masa ke-19.
Namun , mengapa ketika ini ketimpangan global tidak kunjung berkurang , bahkan di beberapa daerah justru meningkat? Dalam studinya bersama Michael Kremer , Maskin memodifikasi model Ricardo-Heckscher-Ohlin Agar sanggup mengakomodasi perkembangan perdagangan pintar balig cukup akal ini: maraknya jejaring produksi lintas negara , semakin beragamnya tingkat keterampilan , serta semakin kompleksnya pembagian kiprah dalam rantai nilai.
Modifikasi mereka sederhana , tetapi implikasinya cukup signifikan. Alih-alih dua tipe , mereka membagi pekerja menjadi empat tipe keterampilan: A , B , C , dan D; dengan A paling terampil. Pekerja tipe A dan B tinggal di negara maju , tipe C dan D di negara berkembang. Didorong oleh ketiga fenomena perdagangan mutakhir di atas , pekerja tipe B dan C bergabung dan bekerja sama. Mereka menjadi penghubung antarnegara.
Implisit dalam model mereka , tipe A tidak ”bersedia” bergabung dengan B alasannya kualifikasi mereka terlalu tinggi untuk upah tipe B. Tipe B butuh tipe C untuk menjalankan jejaring mereka. Tipe C bahagia bergabung dengan tipe B alasannya upahnya tertarik ke atas. Namun , tipe D tidak bisa bergabung dengan tipe C alasannya keterampilan yang terbatas. Maka , globalisasi bisa membuat tipe D ketinggalan. Celakanya , di negara berkembang dan terutama negara miskin , tipe D-lah yang dominan. Ini menjelaskan Mengapa ketimpangan belum berkurang pada era globalisasi.
Perbaiki Kualitas Pekerja
Bagaimana solusinya? Sebagian orang mungkin menyarankan menahan globalisasi demi melindungi tipe D di negara miskin. Argumennya: kalau globalisasi ditutup , tipe C mau tak mau bakal bekerja sama dengan tipe D. Maka kesejahteraan tipe D (yang mayoritas) bakal terangkat.
Ini muskil. Pertama , menutup globalisasi berMakna menghalangi kesempatan bagi tipe C (dan tipe B dari negara maju) mencapai skala yang menguntungkan kedua negara. Kedua , menahan globalisasi berMakna mendapatkan saja bahwa tipe D tidak bakal pernah maju menyerupai tipe C. Ketiga , globalisasi sendiri pasti tak bakal bisa ditahan , kecuali dengan biaya yang sangat besar (contohnya hilangnya saluran transportasi dan komunikasi yang mudah).
Sebaliknya , Maskin menegaskan , kalau teorinya benar , langkah yang sempurna bukan menghentikan globalisasi , melainkan memperbaiki kualitas pekerja tipe D Agar mereka juga bisa menikmati globalisasi: bergabung dengan B dan C serta menikmati manfaat perdagangan. Maskin menganjurkan investasi dalam SDM berupa pendidikan dan pelatihan.
Oleh siapa? Mungkin bukan oleh pengusaha/pemberi kerja (karna training butuh biaya , dan ketika keterampilan pekerja meningkat , upah pun meningkat , yang berMakna beban pemanis bagi pengusaha). Juga bukan oleh pekerja sendiri (terlalu miskin untuk meningkatkan kualitas dengan trik swadaya). Karena itu , ada ruang bagi pemerintah , LSM , serta pihak swasta. Swasta juga sanggup terlibat melalui prosedur insentif yang pas (contohnya pengurangan pajak untuk jumlah tertentu training tenaga kerja).
Ada dua informasi yang relevan untuk kita. Pertama , kita pun masih menyaksikan naiknya ketimpangan di Indonesia belakangan ini. Betul bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berpengaruh , angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun. Namun , ketimpangan meningkat bukan hanya dalam hal pendapatan , juga dalam dimensi non-pendapatan (ketimpangan horizontal). Sebutlah menyerupai saluran pada pendidikan dasar , kesehatan dasar , sanitasi layak , dan air bersih.
Kedua , selain investasi dalam SDM , pasar kerja juga berperan. Tipe D didominasi oleh pekerja informal yang mungkin sulit menembus pasar formal , menyerupai halnya tipe C. Dengan pasar kerja yang terlalu kaku , pemberi kerja tak punya insentif mempekerjakan lebih banyak buruh lewat sistem formal. Mereka lebih menentukan subkontrak atau tenaga alih daya. Akibatnya , kepastian kerja bagi tipe D makin rendah.
Lebih parah lagi kalau tipe C justru menghalangi saluran tipe D untuk naik. Ini bisa terjadi setrik tak sengaja ketika pekerja tipe C memperjuangkan nasib mereka sendiri , tetapi justru membuat tipe D makin terpinggirkan.
Arianto A Patunru , Fellow Australian National University
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Maskin| Ketimpangan| Dan Globalisasi"