Azyumardi Azra
Meski masih menghadapi banyak sekali dilema dalam demokrasinya , Indonesia tetap berada dalam posisi lebih baik untuk lebih memainkan tugas ke arah pertumbuhan dan penguatan demokrasi tingkat regional ASEAN atau Asia Pasifik , bahkan di tingkat internasional lebih luas.
Aktualisasi tugas itu tak lain merupakan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pemerintah negara Indonesia juga ikut melakukan ketertiban dunia menurut kemerdekaan , perdamaian awet , dan keadilan sosial.
Sebagai negara dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan satu-satunya di kawasan
ini yang menjadi anggota G-20 , Indonesia memiliki bobot dan daya tekan memainkan tugas lebih besar dalam pertumbuhan dan konsolidasi demokrasi di banyak sekali daerah dunia. Masalahnya kemudian , sejauh mana Indonesia telah menggunakan imbas itu; dan langkah yang sanggup dilakukan lebih jauh untuk berdiri di depan barisan kekuatan internasional mendorong transisi dan konsolidasi demokrasi baik ke dalam maupun ke luar.
Bali Democracy Forum
Sejauh menyangkut pertumbuhan demokrasi , Indonesia terang memiliki pretensi dan impian berpengaruh untuk memainkan tugas lebih besar pada tingkat internasional. Hasrat ini diwujudkan semenjak 2008 dikala Bali Democracy Forum (BDF) untuk pertama kali diselenggarakan di Bali. Sejak itu BDF menjadi kegiatan tahunan Pemerintah Indonesia hingga penyelenggaraan yang kelima kalinya pada 8-9 November 2012.
Jelas BDF menarik kian banyak peserta. Pada BDF I hadir empat kepala negara/pemerintahan , 32 negara penerima dari daerah Asia Pasifik , 8 negara Eropa dan Amerika , serta lembaga internasional sebagai observer. Lalu pada BDF II 2009 masing-masing empat kepala negara/pemerintahan , 35 negara penerima , 13 negara/lembaga internasional pengamat; BDF III 2010 , empat kepala negara/pemerintahan , 44 negara penerima , 27 negara/lembaga internasional pengamat; BDF IV 2011 , 9 kepala negara/pemerintahan , 40 negara penerima , dan 45 negara/lembaga internasional pengamat; serta BDF V 2012 , 11 kepala negara/pemerintahan , 50 negara penerima , dan 13 negara/lembaga internasional pengamat.
Mengapa BDF sanggup bertahan dan menjadi kegiatan tahunan banyak negara? Salah satu faktor yakni pendekatan inklusif BDF yang cukup unik: bahwa Indonesia tidak membatasi keikutsertaan dalam lembaga pada negara-negara yang benar-benar telah legitimate sebagai demokrasi , tetapi juga negara-negara yang intinya merupakan negara otoritarianisme militer atau sipil , totalitarianisme , monarki diktatorial , teokrasi , atau sistem satu partai tunggal. Dengan pendekatan inklusif , yang agaknya khas Indonesia , para penerima tidak dieksklusi dan merasa nyaman mengikuti percakapan wacana demokrasi dan tukar-menukar pengalaman mengenai praktik terbaik dalam demokrasi.
Pendekatan inklusif BDF baik pribadi maupun tidak mengisyaratkan legalisasi Indonesia: bergotong-royong tidak ada satu model tunggal dan bentuk ideal demokrasi. Memang setiap negara demokrasi pasti harus mengadopsi prinsip pokok demokrasi , tetapi setiap negara demokrasi juga memiliki kekhasannya yang tidak sanggup begitu saja sanggup diberlakukan—apalagi dipaksakan—kepada negara-negara lain.
Karena itu , demokrasi mestinya muncul dari dalam (from within) , bukan dipaksakan dari luar (from without).
Lebih jauh , percakapan dalam BDF tidak terbatas pada demokrasi per se. Ini sanggup terlihat dari pokok pembitrikan: ”Membangun dan Mengonsolidasikan Demokrasi: Agenda Strategis Asia” (BDF I); ”Mempromosikan Sinergi antara Demokrasi dan Pembangunan di Asia: Prospek Kerja Sama Regional” (BDF II); ”Demokrasi dan Promosi Perdamaian dan Stabilitas” (BDF III); ”Memperkuat PMaknasipasi di Dunia yang Tengah Berubah” (BDF IV); dan ”Memajukan Prinsip-prinsip Demokrasi pada Setting Internasional” (BDF V).
Memperkuat ”leverage” RI
Pembitrikan wacana demokrasi dalam kaitannya dengan banyak sekali tema tadi kelihatan menjanjikan. Namun , juga terang , percakapan dalam BDF tidak instan sanggup membuat demokrasi sanggup terkonsolidasi di sejumlah negara Asia Pasifik. Bahkan , hingga sekarang transisi banyak negara—seperti di dunia Arab—berlangsung alot , pedih , dan usang sehingga masa depan demokrasi pun belum menentu.
Di tengah perkembangan belum menggembirakan itu , Indonesia sepatutnya trus memperlihatkan ide bagi penguatan demokrasi. Indonesia juga sanggup meningkatkan kolaborasi bilateral dengan negara-negara yang sedang transisi menuju demokrasi melalui banyak sekali kegiatan semacam pertukaran pengalaman (bukan menggurui) , derma teknis kelembagaan dan lain-lain yang dilaksanakan Indonesia dalam membangun demokrasi.
Namun , Agar Indonesia sanggup lebih efektif memainkan tugas menyerupai itu , yang diharapkan bukan hanya diplomasi luar negeri lebih aktif , melainkan juga pembenahan demokrasi Indonesia sendiri. Hanya dengan demokrasi yang bernas , Indonesia sanggup memiliki leverage lebih berpengaruh lagi dalam membantu transisi lebih lancar di daerah Asia Tenggara semacam Myanmar dan juga di dunia Arab.
Karena itu , penguatan dan konsolidasi demokrasi Indonesia sangat mendesak dilakukan. Konsolidasi itu mesti diarahkan tak hanya pada pembenahan lembaga politik semacam parpol , tubuh legislatif yang kredibel dan akuntabel , pemerintahan yang menegakkan good gkelewat / overnance , tetapi juga pada upaya keras dan sungguh-sungguh Agar demokrasi sanggup mewujudkan janji-janjinya untuk kesejahteraan warga melalui pembangunan.
Jika demokrasi Indonesia gagal atau terseok-seok memperbaiki kehidupan bangsa pada banyak sekali seginya , sanggup dipastikan kian banyak warga dan kelompok kehilangan iman kepada demokrasi. Jika ini terjadi , Indonesia sanggup terjerumus ke dalam kesulitan demi kesulitan.
Demokrasi memang memiliki batas dan kelemahan tertentu , termasuk di Indonesia. Namun , bagi negara-bangsa Indonesia , demokrasi tetap menjadi pilihan sis- tem politik lebih baik dibandingkan dengan sistem politik lain semacam teokrasi (dawlah Islamiyah atau khilafah Islamiyah) , atau diktatorisme , atau otoritarianisme apakah sipil maupun militer.
Azyumardi Azra , Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Advisory Board , International IDEA , Stockholm dan BDF
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Bdf Dan Demokrasi Indonesia"