Budiarto Shambazy
Mohamed Bouazizi drop out dari Sekolah Menengah Pertama sebab orangtuanya tak bisa bayar uang sekolah. Untuk memperbaiki nasib , mereka pindah ke kota lebih kecil , R’gueb , dan bekerja di peternakan saudara.
Namun , peternakan gulung tikar sebab jadi korban pemerasan aparat. Merasa sia-sia , Bouazizi dan keluarga balik lagi ke Sidi Bouzid , Tunisia tengah.
Ia menetapkan mencoba peruntungan sebagai penjual buah dan sayur dengan modal gerobak serta utang kanan-kiri untuk membeli dagangan. Sayang , usaha kaki lima dihentikan , gerobaknya jadi langganan disita polisi.
Jumat , 17 Desember 2010 , pagi , ia tak tahan sebab frustrasinya memuncak. Utangnya sekitar Rp 1 ,7 juta. Ia pergi mengadu ke gubernur mengapa polisi belum mengembalikan gerobaknya.
Namun , ia diusir polisi. Tak ada jalan keluar lagi , Bouazizi mengambil jalan pintas. Ia kemudian memperabukan diri di depan kantor gubernur.
Aksi konyol itu membuat Bouazizi menderita luka bakar parah. Rakyat marah. Sepanjang selesai pekan setelahnya , massa melaksanakan demonstrasi dan menjarah.
Pembakaran dan penjarahan segera menyebar ke seluruh negeri. Perlahan tetapi niscaya , rakyat tergerak mempersoalkan tingkat pengangguran yang tinggi dan korupsi para pejabat.
Rezim Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali berupaya bertahan. Namun , percuma sebab ihwal pembakaran dan penjarahan ditiru di mana-mana sebab menyebar melalui media sosial.
Aksi Bouazizi ditiru beberapa demonstran di Mesir dan Aljazair sebab efektif memicu revolusi. Kurang dari dua bulan , ”Revolusi Melati” di Tunisia merembet ke sejumlah negara Timur Tengah.
Padahal , kultur memperabukan diri akhir frustrasi sosial tidaklah dikenal di kedua tempat itu. Aksi itu lebih sering terjadi di Asia , terutama di tempat Asia Timur dan Asia Selatan.
Kita terang tak mengenal kultur bakar diri , makanya tercengang menyaksikan agresi itu dilakukan Sondang Hutagalung. Tak pernah ada yang bakar diri di depan istana semenjak 1945.
Sudah beberapa kali terjadi belakangan ini orang loncat dari gedung , menjatuhkan diri dari jembatan penyeberangan , atau memperabukan diri sekeluarga.
Padahal , budaya protes kita terhadap keadaan yang sumuk tidak begitu. Protes kita masih berwatak jinak , contohnya demonstrasi ke istana yang merupakan bentuk modern dari mépé (berjemur diri di alun-alun).
Kita lebih kenal amarah politik yang diwarisi budaya Melayu yang lebih mengerikan , yakni amuk (to run amok). Itulah yang terjadi , contohnya , pada 1965-1966 dan 1998.
Apa yang dilakukan pembakar diri ialah perbuatan kurang waras dan bertentangan dengan agama walau Bouazizi terbukti periang dan religius. Satu-satunya motivasi mereka nekat sebab frustasi akhir kondisi sosial dan ekonomi terpuruk.
Pembakar diri memprotes rasa ketidakadilan. Dan , yang perlu digarisbawahi , para pemimpinlah yang bertanggung jawab atas terciptanya ketidakadilan tersebut.
Kalau bukan para pemimpin , kemudian siapa? Pasalnya , hanya jajaran pemimpin negara—pemerintah dan dewan legislatif yang mengawasi pemerintah serta yudikatif yang mengemban keadilan—yang wajib mengurus rakyat.
Lihat ketiga cabang kekuasaan kita yang sering diguyoni dengan ”Trias Poli-thieves”. Ketiga cabang kekuasaan terdiri atas ”execu-thieves” , ”legisla-thieves” , dan ”judica-thieves”.
Tikus-tikus koruptor menguasai ketiga cabang kekuasaan. Korupsi tak lagi sekadar mengentit alias mengais-ngais dari anggaran belanja , tetapi juga menjarah anggaran untuk dibagi-bagikan semenjak ia ditetapkan oleh direktur dan yudikatif.
Korupsi gampang tertangkap lembap dan segera diperiksa KPK , Kepolisian , ataupun Kejaksaan. Namun , mereka ternyata bukan sapu-sapu yang higienis sehingga sukar dibutuhkan menyapu kotoran.
”Judica-thieves”? Lihat saja sebagian keputusan Pemilu-Pilpres 2009 dan pilkada yang ternyata diperdagangkan oleh Mahkamah Konstitusi yang sekarang disidik Panitia Kerja Mafia Kursi DPR.
Betul kata judul buku politisi Partai Golkar , Bambang Soesatyo , Perang-perangan Melawan Korupsi. Pembasmian korupsi mirip belum dewasa yang bermain perang-perangan semata.
Kepolisian dan Kejaksaan menjalankan tugas memainkan ”penyidik-penyidikan” sekaligus ”penyelidik-penyelidikan” skandal-skandal korupsi. KPK bertindak sebagai pemain film yang bermain ”periksa-periksaan” koruptor. Lalu Pengadilan Tipikor memainkan tugas menjalankan ”sidang-sidangan” mirip yang dilakukan terhadap M Nazaruddin.
Korupsi makin hari makin absurd. Permainan perangan-perangan melawan korupsi sudah berlangsung sekitar dua tahun. Sondang menjadi peringatan bagi kita bahwa korupsi di republik ini sudah mencapai kondisi luar biasa.
Selain memperabukan diri , muncul fenomena baru: dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Internasional , mahasiswa dan pencetus pendemo menyatroni rumah Ketua Umum Partai Demokrat.
Pembakar diri mirip Bouazizi atau Sondang bukan pencari sensasi yang haus perhatian dan ingin dikenang sebagai ”pahlawan”. Mereka disebut sebagai ”korban” yang ingin semoga rakyat ”bangkit”.
Makna dua kata , korban dan berdiri , itulah yang menjadi esensial. Setiap usaha memerlukan pengorbanan dahulu demi membangkitkan impian rakyat semoga nasib bangsa jadi lebih baik lagi.
Kita wajib periksa diri: walau sistem demokratis , apakah the ruling elite yang berkuasa masih belum kapok korupsi? Percuma membanggakan demokrasi jikalau tujuannya tidak lebih dari sekadar memperkaya diri.
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Sondang Hutagalung"