Radhar Panca Dahana
Bahkan ada budayawan yang menyatakan , ”KPK sudah menang 2-0!” Maknanya , buat apa kita menambah gol untuk pertempuran yang sudah dimenangi? Saya tidak merenung dengan pernyataan dan pertanyaan retoris itu. Saya segera menyatakan , dilema mutakhir di seputar korupsi di negeri ini bukanlah soal kemenangan temporer , setelak apa pun , apalagi kalau hanya ditujukan pada ”pertempuran” antara dua forum yang memiliki wewenang penyidikan korupsi itu.
Persoalan juga bukan soal momen yang sempurna atau tidak. Pemberantasan korupsi ialah momen yang sempurna sepanjang tindak pelanggaran kemanusiaan atau kriminalitas luar biasa itu tetap terjadi , terlebih setrik massif dan sebagian mengalami internalisasi dalam diri publik. Pemberantasan korupsi ialah upaya eternal , terus-menerus , segimana kejahatan itu memang infinit semenjak kebudayaan berdiri.
Karena itu , semua upaya pemberantasan korupsi , termasuk pelembagaannya dalam KPK , tidak lagi bisa bersifat ad hoc atau temporer. Perlawanan terhadap kedegilan insan , yang memang integral dalam diri insan , yang memang jadi sisi lain dari mata uang kebudayaan yang sama , haruslah permanen. Upaya ini ialah bab yang tidak terpisahkan dari kerja kebudayaan , yang pada pada dasarnya ingin mempertahankan keluhuran akal dan kebaikan dalam tindakan.
Maka , tidak ada argumentasi yang bisa menghalangi apabila kebudayaan harus terus bekerja melawan semua tindakan insan yang coba mengikir , apalagi menghancurkan akal dan kebaikan itu. Mestinya , tak ada kekuatan atau kepentingan apa pun yang kita permisikan untuk menghalangi , memperlemah , apalagi menghancurkan kerja apa pun yang dilakukan KPK.
KPK telah menjadi sebuah kerja kebudayaan dari bangsa yang ingin tetap memelihara hati dan nuraninya , yang terus memperjuangkan sisi positif , konstruktif dan produktif dari kebudayaan melawan sisi lain yang menegasi atau memeranginya. Ini ialah pertarungan infinit kebudayaan , dan sebenarnya pertarungan infinit insan , sampai di tingkat pribadi: jihad akbar , insan memerangi sisi jelek dari diri dirinya sendiri.
Itulah alasan mengapa seniman dan budayawan harus ikut bitrik , memasang tubuh dan karya-karyanya mendukung KPK , sebagai satu simbol dari perang di atas. Tidak ada urusannya dengan Polisi Republik Indonesia , kemenangan telak , bahkan tak ada hubungannya dengan pidato A dan retorika B , yang bisa jadi hanya ingin mengambil profit politik yang menjadi penumpang gelap dari penyelesaian kasus ini.
Bukan Presiden
Saya tidak ingin menyampaikan pidato Presiden SBY Senin malam kemudian ditumpangi setrik gelap oleh kepentingan tertentu , atau jadi parfum yang menebarkan aroma harum bagi pencitraan (partai) politiknya. Bersama banyak kalangan saya juga memperlihatkan apresiasi kesimpulan , keputusan dan tindakan yang bakal dilakukan Presiden berkait dengan kasus ”cicak-buaya” episode dua ini.
Apa yang paling saya apresiasi dari pidato itu ialah bab yang menampilkan sosok SBY sebagai kepala negara , bukan sekadar sebagai kepala pemerintahan. Di bab awal , ibarat biasa , dengan retorikanya yang defensif , SBY dengan tekun dan—berusaha—meyakinkan bahwa ia dan kabinetnya ”benar-benar bekerja , lho” dalam semua urusan , apalagi yang dianggap kritis oleh masyarakat. Sebuah cattenaccio yang tidak perlu untuk seorang yang bakal kondusif dan selamat di periode selesai kekuasaannya.
Dalam bab berikutnya , SBY tidak lagi memosisikan diri sebagai ”presiden yang tidak bisa mengintervensi proses hukum” , tapi bangkit sebagai pemimpin negara atau bangsa yang meng-atas-i seluruh forum kebangsaan dan kenegaraan untuk mengatasi situasi yang bisa memancing krisis kehidupan berbangsa dan negara. Ia pun membuat ”sabda” berkait Polisi Republik Indonesia maupun KPK yang notabene—menurut presiden sendiri—tidaklah di dalam atau di bawah otoritas pemerintahannya. Itulah antara lain kiprah dan fungsi kepala negara.
Persoalan ini perlu dieksplisitkan karna terjadi kekaburan dan kerancuan yang hampir imanen dalam diri kita , antara kiprah seorang presiden dan kepala negara dalam diri seseorang yang kita serahi dua kiprah dan kiprah itu sekaligus. Presiden memang tak bisa mengintervensi kerja lembaga-lembaga negara independen , tapi kepala negara punya otoritas untuk menyentuh apa pun dan siapa pun ketika sebuah krisis memanggil segenap bangsa dan aparatus negara untuk meresponsnya.
Persoalannya , tak ada ketentuan tegas dalam undang-undang , bahkan konstitusi , yang mengatur kapan seseorang—dengan tugas-ganda itu—harus memainkan kiprah satu atau yang lainnya. Tumpang tindih ini mengakibatkan seorang pemimpin sanggup saja sibuk tiada habisnya untuk memenuhi portofolio kabinet atau pribadinya , dan melalaikan tugasnya yang di-”atas”-itu.
Sistem yang Memasung
Peran seorang presiden sanggup dilakukan oleh seorang politikus ulung plus manajer yang andal. Tapi kiprah seorang kepala negara tak bisa tidak harus dilakukan oleh seorang yang melampaui kualifikasi itu , untuk kemudian kita , seluruh bangsa , menobatkannya sebagai seorang negarawan: stateman bukan man of state.
Dalam dunia yang setrik global menghadapi aneka macam krisis akut , di bidang energi , keamanan , moneter , perdagangan , politik , sampai lingkungan dan kebudayaan ini , tentu saja diharapkan pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan , kreatif dalam menyiasati keadaan , juga keteguhan atau keberanian dalam implementasi kebijakan.
Dengan kepercayaan dan sumbangan dari hampir seperempat miliar penduduk negeri ini , pemimpin yang tidak memiliki kapasitas ibarat itu lebih baik dikandangkan atau berlatih memimpin dulu dengan simulator , yang tidak murahan alasannya ialah dikorupsi.
Persoalannya kemudian , apakah sistem politik dan prosedur perekrutan atau kaderisasi pemimpin kita ketika ini memungkinkan lahirnya pemimpin dengan kapasitas ibarat di atas? Menyaksikan trik gimana para ”calon” pemimpin kita ketika ini bermunculan , lewat pencitraan kosong via media massa dan media umum , lewat politik uang yang menggelikan sekaligus memalukan , lewat rekayasa huruf dari ambisi-ambisi personal yang kelewat / over-estimate dalam refleksi-dirinya , rasanya kita bersama harus pesimistis.
Sistem dan prosedur yang kita pilih sendiri ini ternyata hanya menjadi field¬- nya Bourdieu yang mempertarungkan juragan-juragan modal dalam sebuah pertandingan semu di antara segelintir adipati di kerajaan elite negeri ini. Pertandingan semu , yang di baliknya terjadi ”dagang sapi” segimana jadi sejarah dan ”tradisi” politik kita , memberi izin terjadinya konspirasi oligarkis para (adipati) elite politik kita , yang lewat regulasi—produk mereka sendiri—memasung setrik dini potensi tumbuhnya pemimpin nasional sejati , bahkan dari tingkat bibit.
Situasi ini tentu memperlihatkan bahaya bagi kita , bagi bangsa dan negara kita , dalam perjuangan mencapai impian ideologis maupun praktisnya. Tak bakal lahir pemimpin yang visioner , budayawan dan negarawan , tidak bakal pernah kita dapatkan kepala negara yang bekerja bukan di momen tertentu saja , atau alasannya ialah ”tidak sengaja”. Tidak perlu seperempat miliar insan , pantai terpanjang dunia , kepulauan terluas di atas bumi , atau kebudayaan menerima respek sepanjang sejarah , bahkan negeri sekecil Singapura dan Timor Timur pun membutuhkan seorang negarawan.
Negarawan alias kepala negara inilah yang bisa bertindak dan mencegah kedegilan-kedegilan insan yang diakibatkan sisi negatif dari insan itu sendiri. Menjadi pembela dan pejuang kebudayaan—yang mengintegrasikan ambisi politik , ekonomi , aturan , sampai Maknastik—untuk mencapai keluhurannya tertinggi , meraih martabat puncaknya , meninggikan sampai optimum kemanusiaannya , dan kesannya menjadi panglima bagi bangsanya guna memenangi masa depan.
Maka , agarkanlah (para kandidat) kepala negara ketika ini bitrik.
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Agarkan Kepala Negara Bitrik"