Mochtar Pabottingi
Apa yang kita sebut krisis multidimensi sebetulnya bersimpul satu , yaitu tiadanya Rechtsstaat. Kata recht di sini menghimpun semua kebajikan atau moralitas publik: benar , adil , beradab , patut , sah , dan berharkat. Para pemikir politik mulai dari Aristoteles , Rousseau-Kant-Hegel , sampai ke John Rawls , Ian Shapiro , dan Michael Sandel selalu menekankan moralitas ini.
Sejak pengujung periode ke-18 , moralitas publik bertumpu pada kolektivitas politik egaliter berjulukan bangsa atau nasion yang lahir dari solidaritas kesejarahan dan kesatuan harapan besar politik. Serempak , moralitas publik juga lahir dari tuntutan peradaban bakal niscayanya menghormati harkat setiap individu warga nasion. Perpaduan antara rasa bernasion dan pengutamaan pada harkat tiap warga nasion inilah yang melahirkan negara dengan sistem demokrasi. Aktualisasi sistemik dari moralitas publik ini kemudian juga dikukuhkan di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas , begitu pula prinsip pemisahan kekuasaan dan kesetaraan di depan hukum. Sejak pengujung periode ke-18 itu , negara-negara nasion penggagas demokrasi modern di Amerika dan Eropa Barat kurang lebih berkiprah , bertumbuh maju , dan bersinar dengannya.
Baik moralitas publik maupun negara aturan sama sekali bukanlah milik langsung peradaban Barat. Jepang sedari awal peradabannya dan terlepas dari sejumlah kekurangannya ialah pola cemerlang dari tangguhnya akar serta kiprah moralitas publik berdasarkan kaidah-kaidah kulturalnya sendiri. Di zaman kita , pantrikn sinar moralitas publik di Jepang mungkin ialah yang paling cemerlang di dunia.
Di Nusantara , prinsip ”raja alim raja disembah , raja lalim raja disanggah” ialah cuilan sentral dari moralitas yang sama—sebab ”raja” ialah otoritas pertama dan utama dari semua urusan publik. Merujuk pada kesaksian Profesor Mattulada dan Profesor Anthony Reid , berabad sebelum kuku-kuku kolonial mencengkeram Sulawesi Selatan pada awal periode ke-20 , pangngadereng dalam kultur politik Bugis terperinci merupakan bangunan moralitas publik dan sekaligus bangunan aturan yang sangat berwibawa.
Rechtsstaat lazim diterjemahkan sebagai negara konstitusional atau negara hukum. Ia representasi dari bersatu dan bersenyawanya politik dan hukum. Di sini politik dan aturan ialah dua sisi dari mata uang yang sama. Persenyawaan ini pasti karna konstitusi yang merupakan pedoman dan/atau rangkaian patokan politik tertinggi negara sekaligus menjadi aturan tertinggi. Ia menjadi tiang pancang karna tujuan utamanya memang tak lain dari pemihakan dan penjunjungan faktual pada upaya bersama menuju kesejahteraan , kemajuan , dan kebahagiaan sebangsa.
Lazimnya , entitas ataupun ideal-ideal Rechtsstaat merupakan kepanjangan dari ideal-ideal nasion dan demokrasi. Dan konstitusi , prasyarat utama Rechtsstaat , ialah cetak biru nasion dan demokrasi sekaligus. Konstitusi ialah maklumat nasion , bukan maklumat negara. Itulah sebabnya maka JS Mill menekankan bahwa konstitusi haruslah disusun oleh the best minds of the nation.
Nasion tegak di atas prinsip-prinsip solidaritas , inklusivisme , keadaban , kesalingpercayaan , dan pluralitas. Demokrasi bertumpu pada prinsip-prinsip kesetaraan , keadilan , kebebasan , rasionalitas politik , dan supremasi hukum. Kuatnya kohesi , afinitas , bahkan ketumpangtindihan antara prinsip-prinsip nasion dan prinsip-prinsip demokrasi membuat nasion dan demokrasi dengan sendirinya terjalin ke dalam suatu korelasi simbiosis-konstruktif. Begitulah , maka tiap demokrasi sehat bertujuan untuk memelihara berlakunya kesepuluh prinsip di atas semoga semua warga negara dapat terus melangkah maju guna mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan dan peradabannya. Dengan konstitusi , nasion mengontrol dan mengarahkan negara ataupun masyarakat.
Janji yang Diingkari
Pada zaman kita sulit membayangkan konstitusi atau Rechtsstaat di luar konteks nasion dan demokrasi. Toh kerap dilupakan bahwa baik negara (Staat) maupun aturan (Recht) sama-sama berinduk pada dan merupakan derivat nasion dalam paradigma demokrasi.
Sejatinya , kedaulatan negara hanyalah pemberian dari kedaulatan nasion. Bisa dikatakan bahwa negara melangkah maju atau terpuruk mundur setrik berbanding lurus dengan pasang-surut penyantunan serempaknya atas nasion dan demokrasi.
Atas dasar nalar ini , suatu negara berhenti menjadi Rechtsstaat manakala para pelaksana negara dan/atau pegawanegeri aturan tak lagi mengindahkan nasion dalam paradigma demokrasi. Tanpa berpatokan pada nasion dalam konteks itu , bukan hanya yang Recht bakal lenyap , melainkan Staat sendiri pun bakal kehilangan induk dan tujuan dasarnya.
Tanpa induk dan tujuan dasar , negara bakal menjadi liar dan seketika menjadi mangsa para perakus kuasa dan harta di dalam pemerintahan. Ia juga menjadi mangsa para pemodal besar nasional ataupun internasional yang semata-mata didikte oleh hasrat menggaruk untung sebesar-besarnya tanpa memedulikan akibat-akibat buruknya pada negara , masyarakat , dan negeri di mana mereka berkiprah.
Ketika para pelaksana negara mencampakkan nasion induknya , ketika itu pulalah negara konstitusional batal. Di situ negara kehilangan pijakan untuk memihak dan menjunjung ideal-ideal berbangsa. Begitu konstitusionalitas lenyap , kinerja politik dan aturan pun ikut meliar. Keterpaduan antara keduanya sirna. Sebab , di bawah negara tak berinduk dan nihil moralitas , baik praktik politik maupun praktik aturan tak lagi bertumpu pada Recht.
Dari sini tinggal dua opsi yang menunggu negara: Machtstaat atau aturan rimba!
Rapor atau kinerja seluruh rezim dan/atau pemerintahan di Tanah Air semenjak Proklamasi Kemerdekaan dapat diukur dan dijelaskan dari budi sehat dan patokan-patokan
Rechtsstaat di atas , termasuk rezim Orde Reformasi yang kemurnian cita-citanya telah dipelintir sedari awal. Dari sini kita mengetahui bahwa satu-satunya rezim yang menegakkan Rechtsstaat hanyalah apa yang disebut Herb Feith , Demokrasi Konstitusional. Itu berlangsung hanya sekitar delapan tahun. Rechtsstaat mulai dikhianati semenjak Demokrasi Terpimpin.
Kita juga tahu bahwa pengkhianatan terbesar atas Rechtsstaat berlaku pada Orde Baru dan Orde Reformasi. Tsunami nasional dari ketiadaan aturan bermula di bidang politik pada 1965 dikala negara kita bermetamorfosis Machtstaat. Hingga selesai Orde Baru , gelombang besarnya yang berulang berkali-kali juga melanda bidang ekonomi. Lalu tsunami itu pecah lagi setrik jauh lebih luas di awal Orde Reformasi. Ini menggerogoti sendi-sendi politik , aturan , dan ekonomi setrik sama masifnya. Sebab , dipelintir sedari awal sampai sekarang , Orde Reformasi benar-benar mendekati situasi aturan rimba—total lawlessness—terlepas dari pernak-pernik perubahan sistem pemerintahan di permukaan.
Kesalahan terbesar selanjutnya ialah dijadikannya gerilya diktum impunitas sebagai patokan Orde Reformasi sampai kini. Dalam konteks inilah Munir—pahlawan nasional sejati pembela rakyat kecil—dibantai begitu biadab. Di sini kesalahan terbesar Presiden SBY ialah penolakan umumnya untuk melaksanakan terobosan-terobosan administrator di tengah realitas negara dalam keadaan semidarurat. Padanya sampai sekarang tak kita temukan gut kepemimpinan. Lakunya ingkar kesepakatan dan sama sekali tidak presidensial di tengah-tengah kerinduan nasional untuk mengakhiri kondisi lawlessness dan kegilaan korupsi.
Itikad Baik Pemimpin
Di sini pulalah kita mempertanyakan itikad baik pimpinan dan para anggota dewan perwakilan rakyat yang setrik licik berusaha melemahkan KPK lewat revisi undang-undang dengan alasan konyol. Mereka mencampakkan kenyataan betapa parahnya kanker korupsi di Tanah Air dan betapa ia tiada hentinya dilemahkan dari atas dengan pelbagai tipu muslihat selama ini. Ibarat para psikopat , orang-orang yang mengaku terhormat di dewan perwakilan rakyat buru-buru mengusung dalih kembali ke sistem aturan normal sementara negara kita masih tetap kental diharu biru oleh korupsi sebagai extraordinary crime dari para extraordinary bastards!
Sikap yang sama juga kita tujukan kepada jajaran pimpinan kepolisian. Bagaimanakah mereka dapat memelihara wibawa pegawanegeri penegak aturan jikalau mereka sendiri pun menempatkan diri di atas aturan lewat tindakan duplikasi penyidikan yang siapa pun tahu bersifat pengecut? Ke manakah ditaruh butir ketiga misi Polisi Republik Indonesia untuk ”menegakkan aturan setrik profesional dan proporsional dengan menjunjung tinggi supremasi aturan dan hak asasi insan menuju pada adanya kepastian aturan dan rasa keadilan”? Di sini sikap kalangan dewan perwakilan rakyat dan saudara-saudara kita di kepolisian tak ubahnya dengan pepatah: “Tiba di mata dipicingkan , datang di perut dikempiskan!”
Dalam kaitan ini , apresiasi lapang dada mesti kita berikan kepada pimpinan Mahkamah Konstitusi ketika menegaskan bahwa upaya pelemahan KPK lewat revisi undang-undang sama sekali tak dapat dibenarkan. Sama halnya , kita pun sungguh merasa terwakili oleh bunyi resi KH Said Aqil Siroj , pemimpin Nahdatul Ulama , yang baru-baru ini menawarkan peringatan kepada instansi perpajakan serta mencanangkan imbauan ”hukuman mati” bagi para koruptor kakap di Tanah Air. Pada peringatan dan imbauan itu tebersitlah kerinduan kita bersama bagi kebangkitan harkat bangsa dalam rangka mewujudkan ideal-ideal kemerdekaan kita.
Kita mensyukuri integritas , kompetensi , keberanian , dan keterpaduan jajaran pimpinan KPK. Bisa dikatakan bahwa KPK dibuat untuk mengakhiri praktik diktum impunitas pada Orde Reformasi. Para pemimpinnya sedang berjuang keras untuk menegakkan Rechtsstaat pada titik sentral.
Semua komponen masyarakat beradab di Tanah Air wajib bahwasanya mendukung kiprah suci KPK untuk memberantas para penggila korupsi sistemik di badan negara kita sampai ke akar-akarnya. Di negara mana pun , wabah korupsi ialah maha-kutukan!
Sangatlah mendesak bahwa seluruh energi nasional haruslah pertama-tama dikerahkan pada pemberantasan kejahatan luar biasa ini. Untuk itu , kita kembali harus menegaskan eksistensi nasion serta kemutlakannya sebagai induk dan junjungan negara.
Kita tahu bahwa hampir semua pelanggaran Rechts atau penyalahgunaan kekuasaan yang membuat krisis multidimensi bermuara pada korupsi. Maka , pemberantasan korupsi merupakan trik paling efektif bukan hanya untuk mengakhiri krisis multidimensi itu , melainkan juga untuk menegakkan negara hukum—Rechtsstaat—dalam Makna kata yang sesungguhnya. Tanpa negara aturan , nasion takkan bermartabat. Dalam konteks kehalusan tutur kata pada kultur Jawa , peringatan dan imbauan para pemimpin NU sesungguhnya laik dibaca sebagai seruan teramat keras kepada kawanan extraordinary bastards intranegara yang terus bersekongkol menggarong dana Republik kita: ”Kami sudah usang jijik pada kalian! Enough is enough!”. Dan setrik tegas , kita semua beserta mereka.
Mochtar Pabottingi; Profesor Riset LIPI
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Negara Tanpa "Recht""