Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Kebudayaan Dalam Pemerintahan

Radhar Panca Dahana

Sebenarnya banyak yang mempertanyakan komentar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu , beberapa waktu kemudian , wacana eksistensi taman budaya yang tersebar di banyak provinsi negeri ini.

Hal yang cukup mengejutkan yakni anggapan sang menteri wacana forum budaya itu yang , berdasarkan ia , sanggup jadi etalase produk-produk budaya Indonesia. Sinisme pun merebak: taman budaya menjadi showroom?

Lebih dari itu , sebagian pihak mempertanyakan urusan sang menteri dengan eksistensi taman budaya di Indonesia. Sejak bilakah taman-taman budaya itu jadi penggalan atau urusan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf)? Bukankah semestinya ia dalam subordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)? Tidakkah mengerikan bila taman-taman budaya itu didesak jadi toko-toko yang mengecer karya-karya seni negeri ini , bukan justru menjadi laboratorium atau kawah candradimuka kerja-kerja Maknastik para seniman kita?

Semua pertanyaan itu sesungguhnya bermuara pada salah paham , yang akibatnya melahirkan visi dan misi yang keliru , dari para menteri kita wacana apa dan di mana posisi kebudayaan dalam kerja mereka (pemerintah). Satu duduk kasus yang sudah terjadi ketika kebudayaan dipisahkan dari (departemen) pendidikan , dan lebih celaka lagi ditautkan dengan (departemen) pariwisata. Protes mengalir deras sampai akibatnya pemerintah mengambil keputusan mengembalikan kebudayaan ke habitat aslinya bersama pendidikan.

Persoalan muncul kembali terkait wilayah kerja dari kebudayaan dan ekonomi kreatif , sebab yang belakangan juga merasa berkepentingan dengan kebudayaan dan kesenian yang terikut di dalamnya. Efeknya , terjadi semacam tarik-menarik kepentingan , contohnya wacana industri film , Galeri Nasional , dan respons terhadap klaim Malaysia atas sejumlah produk budaya kita.

Hulu dan Hilir

Terlebih dahulu perlu diafirmasi apa makna dan gimana kerja kebudayaan kita , sekurangnya untuk dua kementerian itu. Hal utama yakni memahami kebudayaan sebagai sebuah produk (juga proses di baliknya) dan keuntungannya setrik praktis. Segimana dalam industri , produk yakni penggalan hulu , sementara manfaat ada di penggalan hilir.

Dalam pengertian ini , kebudayaan , termasuk kesenian di dalamnya , yakni sebuah kerja yang idealistik di ujung hulunya. Di penggalan inilah konten , ide-ide , bentuk , dan rekayasa Maknastik diolah dan diproduksi. Dari hasil ini muncul kemudian manfaat- manfaatnya. Dari sekian banyak manfaat itu , baik yang benda maupun tak benda , baik yang material maupun imaterial , diapresiasi publik dengan fungsi dan signifikansi masing-masing.

Salah satu dari pemanfaatan itu yakni mendapatkan surplus nilai setrik simpel , material , dan komersial. Segimana alam memproduksi kayu yang kemudian kita jual dalam bentuk bangku , demikian pula produk Maknastik dari kebudayaan juga harus diproses lagi untuk mendapatkan surplus nilai ketika ia dilempar ke ranah publik untuk diapresiasi.

Dari pemahaman dasar itu , jelaslah di mana posisi dan kiprah pemerintah. Ada yang bermain di hulu (Kemdikbud) dan di hilir (Kemenparekraf). Kemdikbud bertanggung jawab membuat kondisi sekondusif mungkin bagi dinamika kerja kreatif-Maknastik: mulai dari infrastruktur , pendanaan , pinjaman aturan , akomodasi pajak , dan sebagainya. Karena itu—di penggalan ini—isi , bentuk , termasuk eksperimentasi dan pembaruan sampai pergaulan atau korelasi institusional ada di dalam di wilayah Kemdikbud.

Sementara Kemenparekraf memanfaatkan setrik simpel dan pragmatis semua produk itu , tidak peduli gimana isi dan bentuk hasil kreatif itu. Tugasnya melaksanakan pengemasan , promosi , dan jikalau perlu ”menjual” tanpa perlu ikut campur , apalagi mengganggu proses yang ada di hulu.

Dengan distribusi kiprah ibarat di atas , tak perlu lagi ada kerancuan atau tarik-menarik di antara keduanya mengenai banyak hal. Soal taman budaya atau Galeri Nasional , contohnya , gampang dipahami apakah ia merupakan penggalan integral dari proses kreatif (hulu) atau komersialisasi (hilir). Saya kira kita , umumnya para pekerja budaya , paling tidak oke soal itu ada di penggalan hulu.

Atau , siapa yang bertanggung jawab pada diplomasi budaya , wacana kasus klaim-klaim  budaya itu? Tentu saja keduanya , bahkan bertiga dengan Kementerian Luar Negeri , tetapi dengan pembagian kerja yang jelas.

Sebagai forum ide(alis) , Kemdikbud menyiapkan argumen seilmiah dan seadekuat mungkin. Kemenparekraf mengemasnya untuk kebutuhan media internasional dan lain-lain. Lalu , Kemlu menggerakkan jaringannya untuk menyebarluaskan argumen canggih yang sudah indah itu.

Logika ini sanggup diterapkan pada banyak kasus lain , termasuk film dan juga satu hal ganjil yang luput selama ini: arkeologi!

Arkeologi sebagai disiplin ilmu berada dalam wilayah kerja simpel dan aplikatif Kemdikbud. Penempatan ini bersama-sama cukup mengherankan , atau sanggup jadi justru ibarat diistimewakan. Sebab hanya ia satu-satunya kerja saintifik yang termaktub dalam wilayah kerja Kemdikbud.

Boleh jadi hal itu terjadi karna pengertian arkeologi berkait ketat dengan situs-situs purbakala , yang pemeliharaan , konservasi , dan restorasinya memang jadi tanggung jawab Kemdikbud. Arkeologi dan situs menjadi penggalan penting dalam sejarah bangsa ini , sejarah identitas dan jati diri yang menjadi soal krusial dalam pendidikan dan kebudayaan. Namun , apakah sejarah hanya berkait dengan arkeologi , situs , dan ilmu sejarah? Tidakkah banyak cabang ilmu lain yang juga turut menelusurinya , ibarat paleontologi , bahasa , antropologi , bahkan genetika?

Dalam irit penulis , arkeologi sebagai disiplin ilmu sebaiknya dientaskan dari Kemdikbud. Kembalikan ia pada komunitas akademiknya , dalam hal ini LIPI. Tugas Kemdikbud bukan melaksanakan riset spesifik di bidang itu , tapi melaksanakan pinjaman , konservasi , dan restorasi saja , plus menyebarluaskan maknanya kepada generasi muda.

Kebudayaan Lelucon

Akhirnya , harus tetap dikatakan , kebudayaan dalam pemerintahan seyogianya tidak hanya dianggap hiburan , lawakan , atau pelengkap dari kerja-kerja kenegaraan lainnya. Kebudayaan adalah—sekali lagi—fundamen dari semua kerja pemerintahan. Dengan kebudayaan (aparatus) pemerintah sanggup melaksanakan signifikansi atau menjumput nilai dan pesan tersirat dari hasil kerjanya. Tanpa kebudayaan , semua jadi hampa. Tak diperlukan kecerdasan lebih untuk memahami hal itu.

Menggembirakan contohnya , dalam beberapa bulan terakhir ini muncul seksi kebudayaan dan seksi kesenian dalam Kementerian Dalam Negeri. Sebuah keputusan visioner yang menggambarkan kesadaran betapa kerja membangun kesadaran bernegara bakal terasa reduksionis , bahkan menyesatkan bila hanya didasari oleh trik berpikir politis , bukan kebudayaan.

Visi semacam ini semestinya juga ada dalam kementerian atau forum negara lainnya , bahkan di bidang pertahanan atau Mahkamah Agung dan Kepolisian. Namun , apakah kita sanggup berharap pemerintah memiliki visi sehebat itu , sementara di kementeriannya sendiri kebudayaan begitu nelangsa berhadapan dengan adik kandungnya (baca: pendidikan) , ketika ia hanya mendapatkan 0 ,5 persen dari dana yang dianggarkan bagi sang adik?

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kebudayaan Dalam Pemerintahan"

Total Pageviews