Radhar Panca Dahana
Betapapun berpengaruh komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi , menyerupai tampak pada pernyataan Presiden SBY yang berulang-ulang menegaskan hal tersebut , kita (baca: rakyat) menyaksikan gimana sesungguhnya korupsi itu justru tampak tak peduli.
Ia berjalan dengan ketelengasan dan kecerdasannya sendiri. Bukan hanya melecehkan amanat presiden , ia juga menyerupai menyampaikan , ”Dalam soal korupsi , tidak pakai maaf , ente bukanlah presiden ane!”
Korupsi berjalan terus , tak perlu kabinet , presiden , mahkamah atau dewan legislatif segimana kita maknai sendiri. Ia sudah menjadi sebuah sistem dengan tradisi , kebiasaan , bahkan rules of the game-nya sendiri. Ia memiliki aparatus sendiri , punya pejabatnya sendiri. Lebih menarik lagi: mereka , para pelaku sistem korupsi , ialah juga para birokrat (dan antek-anteknya) dari sistem formal yang ada.
Manusia-manusia itu memainkan kiprah ganda. Di permukaan , atau level formal , mereka memainkan kiprah yang manis untuk menampilkan diri sebagai tokoh atau pejabat hero rakyat dengan banyak sekali wangsit , kesepakatan , bahkan bukti kerja yang membuai kesadaran publik yang mentah dan naif. Di level lain ”bersembunyi” , mereka bergiliran memanipulasi sistem , menipu , dan mengkhianati rakyat dengan menggunakan akomodasi yang diberikan rakyat untuk kepentingan pribadi.
Apa yang ironis bahkan tragis ialah dunia yang sembunyi itu sebetulnya tidaklah sembunyi seluruhnya. Ia sesungguhnya ada di depan mata , bahkan setrik fisis segimana para pelaku yang ada di hadapan kita: di halaman koran , tabung televisi , radio , sampai ruang-ruang kantor megah yang mungkin kerap kita kunjungi untuk mendapat akomodasi , katabelece , dan mungkin sedikit potongan camilan manis dari korupsi yang dilakukan pejabat itu.
Ciptakan Perang Terbuka
Kasus yang dikala ini membelit antara KPK dan Polisi Republik Indonesia jadi sebuah referensi dari realitas di atas. Realitas yang bukan hanya menggelikan juga tragis. Sekaligus menunjukan betapa kita jadi begitu pandirnya berhadapan dengan kecerdasan sistem dan konspirasi koruptif di kepolisian itu. Terlihat gimana seorang Menko Polhukam (atasan kerja dari institusi itu) bahkan presiden (atasan hukum) menyerupai hanya bisa berbuat sebatas kata-kata.
Kepolisian sekarang menyerupai jadi salah satu forum terbaik dalam mewakili negara yang dikaramkan oleh ”pemerintahan para koruptor” itu. Perselisihan kewenangan dengan KPK menggambarkan dengan terperinci gimana polisi seakan ingin merebut sebuah ”wilayah otoritas” di mana dunia formal dilarang ikut campur. Bahkan , rakyat yang konon pemegang kedaulatan tertinggi pun tidak bakal bisa berbuat apa-apa jikalau pertikaian ini pada alhasil dimenangi kepolisian. Apalagi presiden!
Kita ingat kejadian pada masa almarhum Gus Dur , presiden keempat RI , yang memerintahkan dengan tegas—bahkan disiarkan media massa—Agar Kapolri Bimantoro (saat itu) menangkap Tommy Winata. Apa yang terjadi? Gus Dur , presiden negara yang besar ini , tidak punya daya apa-apa ketika sang ”bawahan” tidak menjalankan kiprah itu.
Semua itu menunjukan bukan hanya ada yang salah dalam kerja sistem birokrasi dan demokrasi kita. Lebih dari itu , sebelum perbaikan komprehensif sistemik itu kita mulai , sebuah pemerintahan tandingan sudah muncul dengan sangat perkasanya.
Apa yang kemudian menggiriskan , bukan hanya kepolisian di dalam pemerintahan kita yang telah menjadi sarang atau ”wilayah otoritas”-sembunyi dari pemerintahan koruptif itu. Di antaranya yang ”terbaik” , kita mafhum , terdapat juga dalam dewan legislatif (DPR) juga beberapa institusi pemerintahan lainnya , menyerupai Kementerian Agama , Kejaksaan Agung , Mahkamah Agung , dan lembaga-lembaga pemerintahan daerah.
Oleh alasannya ialah itu , tidak ada trik lain , wilayah formal yang berada di wilayah kebudayaan mesti menyatakan perang setrik terbuka. Taktik , seni administrasi , serdadu bahkan senjata harus disiapkan. Semua elemen kebangsaan mesti disatukan setrik sinergi untuk ”peperangan” unik ini. Antik atau Berbeda alasannya ialah ia melawan musuh yang sembunyi: sembunyi di hadapan kita dan sembunyi dalam diri kita sendiri.
Mungkin semua usaha tidak bakal memusnahkan total korupsi dalam hidup kita sebagai bangsa dan negara. Akan tetapi , perang itu bakal mereduksi setrik signifikan praktik tersebut. Lebih penting lagi: meruntuhkan pemerintahan Da’jal yang berpetak-umpet dengan mata dan kesadaran kita itu.
Para pemimpin perang ini di semua lapisan harus menunjukan hasil peperangan itu. Bahkan , setrik individual. Ia harus menunjukkan dalam sikap , nafsu , dan kekuatan koruptif dalam dirinya sudah lenyap , berganti dengan kekuatan perlawanan yang dahsyat untuk memerangi nafsu bau itu tanpa pandang bulu.
Kita harus berani mengakui bahwa korupsi yang dilakukan oleh kerabat erat ialah bab dari kesalahan dan kelemahan kita sebagai manusia. Akan tetapi , di dikala bersamaan , kita menunjukan kepada rakyat sebuah kemenangan besar: kemenangan rakyat banyak dengan menghukum tegas kerabat yang menjadi pengkhianat rakyat. Sikap menyerupai ini sudah sangat cukup untuk menunjukan komitmen usaha dan peperangan , tanpa perlu seseorang (pejabat) mundur dari tugasnya sebagai jenderal perang.
Harus keras dan Tegas
Dalam kasus konflik wewenang atau perebutan ”wilayah otoritas” antara KPK dan kepolisian ini , seorang atasan harus keras dan tegas menempatkan dilema dalam proporsi hukumnya , dalam dunia formal-kultural yang dibelanya. Ia harus memerintahkan pemimpin forum pemerintah yang menghalang-halangi upaya pemberantasan korupsi untuk dipecat. Bukan dinonaktifkan. Bila tidak bisa , ya , pemimpin forum itu yang harus dipecat atau mundur.
Resistensi niscaya terjadi. Namun , jikalau resistensi itu berbasis pembelaan terhadap dunia batil , terhadap dunia korupsi yang berisi virus mematikan , tidak ada kata lain: perang!
Siapa yang bakal mendukung perang ini pun jelas. Korupsi bakal dibela para komprador , pemilik uang dan modal , baik kartal maupun virtual. Dunia formal segera didukung oleh pihak yang paling merasa muak dan dirugikan oleh korupsi: rakyat! Bila pemimpin formal tidak percaya dengan kekuatan pemberian itu , tidak percaya kepada rakyat , baik , tetapi silakan mundur segera.
Saya kira , inilah jalan berdasar kenyataan yang dikala ini paling realistis dan idealistis. Tidak bisa lagi korupsi diatasi dengan aturan dan penegakan aturan yang lemah gemulai , waria , retorik , dan sebagian berisi kepengecutan. Perang harus dilakukan betapapun korban harus dijatuhkan.
Bukankah semua perubahan besar dan radikal terjadi selalu dengan trik itu? Bukankah negeri menjadi negara juga dengan modus menyerupai itu? Bukankah presiden , SBY , juga mempelajari dan memahami itu? Bukankah presiden ingin meninggalkan warisan dari dua periode kekuasaannya? Tidak lain , jadilah jenderal sesungguhnya. Pimpinlah perang ini!
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Jenderal| Pimpinlah Perang Ini!"