Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Gus Dur Dan Republik

Akhmad Sahal

Negara Indonesia , kita tahu , berbentuk republik dan berasaskan Pancasila. Bukan negara Islam yang berlandaskan syariah. Lantas , apa dasar syar’i-nya bahwa umat Islam di negeri ini mesti loyal terhadapnya? Mengapa mereka mesti taat terhadap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

Pertanyaan di atas menjadi relevan buat kita mengingat akhir-akhir ini muncul dua macam tanda-tanda yang muaranya memosisikan NKRI seakan nasibnya sedang di ujung tanduk. Gejala pertama , maraknya kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas atas nama Islam. Kedua , adanya sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir dan thoghut , serta wajib diganti dengan negara syariah.

Untuk mengurai pokok masalahnya , izinkan saya mengutip Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dalam Maknakelnya , ”NU dan Negara Islam” , Gus Dur menolak pandangan gres negara Islam alasannya ialah itu memberangus heterogenitas Indonesia. Ia juga memaparkan perilaku NU yang mendapatkan keabsahan NKRI bersandar pada keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 1935 di Banjarmasin bahwa tempat Hindia Belanda wajib dipertahankan setrik agama. Alasannya , kaum Muslim sanggup bebas menjalankan anutan Islam. Atas dasar itulah NU menyatakan komitmennya kepada republik kita , yang menurut Pancasila dan bukan Islam.

Hal yang menarik , Muktamar NU 1935 tak eksklusif mengecap Hindia Belanda sebagai tempat kafir (darul kufr). Rupanya ulama NU menyadari , status aturan segala sesuatu tak sanggup ditentukan hanya dengan semata-mata memetik teks agama (nash) begitu saja. Konteks (al-waqi’) juga mesti diperhitungkan.

Kesadaran wacana konteks inilah yang mesti diperhitungkan untuk menilai status aturan NKRI dari sudut pandang syariah , dan Mengapa kita wajib loyal kepadanya. Ini berMakna , kita mesti tahu dulu apa sejatinya makna kata ”republik” yang dilekatkan pada ”Indonesia”.

Sederhananya , republik ialah tatanan politik di mana negara menjadi urusan publik. Publik di sini jadi sumber legitimasi politik , tetapi sekaligus jadi tujuannya. Karena itu , sistem republik sering kali dilawankan dengan monarki yang berbasis kekuasaan personal sang raja. Juga dipertentangkan juga dengan negara jajahan yang berbasis pada kuasa kolonial.

Republik ialah sistem yang menjamin setiap warga terbebas dari dominasi , yang tak lain ialah kekuasaan otoriter dari pihak luar diri sang warga tadi. Entah itu dominasi dari individu yang lain , negara , atau kelompok masyarakat.

Dengan demikian , pemerintahan republik—mengutip Hatta dalam Ke Arah Indonesia Merdeka (1932)—”senantiasa takluk pada kemauan rakyat”. Maknanya , aturan yang mengatur rakyat ditentukan sendiri oleh mereka. Dalam republik , yang berlaku ialah kedaulatan rakyat , yang didefinisikan oleh Hatta begini: ”Rakyat itu daulat alias raja bagi dirinya sendiri. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil saja yang tetapkan nasib bangsa , melainkan rakyat sendiri.”

Komitmen Kebangsaan

Dengan kata lain , inti dari republik ialah kemauan rakyat yang berkehendak untuk bebas dari dominasi apa pun. Maknanya , pemerintahan yang memimpin dan aturan yang mengatur mereka mesti menurut pada persetujuan , kesepakatan , atau perjanjian di antara mereka sendiri. Setrik kelembagaan , hal ini diwujudkan melalui demokrasi di mana rakyat memerintah dirinya sendiri (self-rule).

Menurut paparan di atas , anggapan bahwa NKRI ialah sistem kafir yang haram untuk ditaati dengan telak sanggup dirontokkan menurut argumen berikut.

Pertama , segimana dinyatakan Gus Dur dalam Maknakelnya , NKRI memang bukan negara Islam. Namun , tidak berMakna aturan Islam tidak ditegakkan di situ. Buktinya , masyarakat Muslim sanggup dengan bebas menjalankan anutan Islam tanpa melalui tangan negara. Mengutip Gus Dur , ”Mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum Muslimin , tetapi mendirikan masyarakat yang berpegang pada anutan Islam ialah sesuatu yang wajib.”

Dengan kata lain , dalam kerangka sistem republik , kaum Muslim tetap mendapatkan keleluasaan untuk menerapkan syariah. Namun , penerapannya berlangsung setrik sukarela dan atas kesadaran sendiri , bukan melalui paksaan dari negara. Ini tentunya sejalan dengan prinsip republik yang anti terhadap dominasi dalam aneka macam bentuknya.

Kedua , tuduhan NKRI identik kekafiran mencerminkan kegagalan memahami hakikat tatanan republik , yakni sebagai negara perjanjian atau kesepakatan antar-pelbagai elemen bangsa demi melawan dominasi dalam aneka macam bentuknya.

Pada titik ini , ada baiknya saya kutipkan keputusan Tanwir Muhammadiyah wacana NKRI pada Juni kemudian di Bandung. Menurut Muhammadiyah , Indonesia yang menurut Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (darul ’ahdi) , negara kesaksian atau pembuktian (darus syahadah) , serta negara yang kondusif dan tenang (darussalam). Keputusan tanwir itu diperkuat pernyataan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin bahwa komitmen terhadap Pancasila ialah manifestasi komitmen untuk menepati kesepakatan , sesuatu yang diperintahkan dalam Islam.

Ketiga , taruhlah benar bahwa NKRI ialah negara kafir. Lalu apa konsekuensinya bagi warga negara Indonesia yang Muslim? Di Indonesia , kaum Muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh dan bebas menjalankan agamanya. Ini berMakna , NKRI bukanlah Darul Harbi yang mesti diubah menjadi Darul Islam.

Dari sudut pandang aturan Islam , orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir yang tidak memerangi umat Islam bergotong-royong terikat kontrak dengan negara itu. Dengan begitu , kalau ia melanggar konstitusi negara itu , apalagi berupaya menggantinya dengan yang lain , ia bergotong-royong menjadi pengkhianat kontrak.

Ibnu Qudamah , ulama mazhab Hanbali , menulis dalam Al Mughni: ”Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan kondusif haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara itu alasannya ialah mereka menawarkan jaminan keamanan semata-mata alasannya ialah adanya kontrak bahwa si Muslim tak bakal berkhianat. Ketahuilah , pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) ialah tindakan yang dihentikan dalam Islam.” Nabi bersabda: ”Al muslimun ’inda syuruthihim—kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati.” Dan , kata Nabi: ”Sesiapa mengkhianati suatu kesepakatan , maka pada hari tamat zaman nanti anusnya bakal ditancapi bendera sehingga perbuatan khianatnya bakal tertangkap berair setrik terbuka.”

Mungkin alasannya ialah tahu bakal kerasnya kecaman Nabi terhadap pengkhianatan terhadap suatu kesepakatan (ghadr) , maka Gus Dur tak henti-hentinya menyerukan kaum Muslim Indonesia untuk memegang teguh komitmen mereka terhadap NKRI.

Akhmad Sahal , Wakil Ketua Pengurus Cabang spesial NU Amerika-Kanada

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Gus Dur Dan Republik"

Total Pageviews