Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Ramadhan: Tobat “Nasuha”

Azyumardi Azra

Setiap kali Ramadhan tiba , ketika itu pula ”kehebohan” yang nyaris rutin melanda Tanah Air. Kehebohan itu , contohnya , terkait dengan masih terjadinya perbedaan penetapan awal puasa antara Muhammadiyah dan NU.

Tidak kurang pula hebohnya yaitu peningkatan harga aneka macam kebutuhan sehari-hari , juga menjelang Idul Fitri nanti alasannya peningkatan konsumsi yang pada gilirannya memicu inflasi. Selain itu , pemerintah juga heboh dengan perbaikan infrastruktur yang sudah menjadi ’ritual’ tahunan , menyerupai jalan raya pantura Jawa.

Pada sisi lain , semangat dan gairah keagamaan juga terlihat tidak pernah surut. Untuk melihat tanda-tanda ini , orang hanya perlu pergi ke Bandara Soekarno-Hatta contohnya , di mana sepanjang tahun—khususnya di trend liburan sekolah kemudian serta menjelang dan selama Ramadhan—bisa menyaksikan gelombang rombongan jemaah umrah yang tak pernah putus. Jika tanda-tanda ini mengindikasikan peningkatan ghirah keagamaan , juga sekaligus membuktikan meningkatnya kemampuan ekonomi masyarakat sehingga sanggup membiayai perjalanan keagamaan yang tidak murah.

Kesenjangan Mencolok

Gejala peningkatan keagamaan yang terus meningkat itu jikalau dikaitkan dengan realitas lain dalam masyarakat Indonesia pada aneka macam bidang kehidupan , dengan segera terlihat adanya kesenjangan mencolok. Di satu pihak ada ghirah keagamaan yang terus meningkat , tetapi pada ketika yang sama aneka macam bentuk perbuatan keji dan mungkar terus mewabah di mana-mana. Dan , ini membawa orang pada pandangan bahwa tidak ada hubungan antara peningkatan ghirah keagamaan dan kehidupan sosial lebih luas.

Kesenjangan paling terperinci yaitu masih berlanjutnya , jikalau tidak sanggup dikatakan meningkat , perbuatan melanggar ketentuan agama dan aturan negara , menyerupai korupsi. Tindakan risywah (baca: suap) masih terus merajalela pada aneka macam lini kehidupan semenjak dari tingkat atas hingga tingkat bawah; semenjak dari pejabat publik di forum direktur , legislatif , dan yudikatif hingga kepada pejabat kelurahan dan desa. Hampir tak ada urusan yang tidak melibatkan korupsi , semacam uang sogok dan pelicin: semenjak dari urusan KTP , IMB , urusan mendapat proyek-proyek pemerintah , hingga untuk pengangkatan ke dalam posisi tertentu dalam pemerintahan dan lembaga-lembaga publik.

Banyak pemangku kekuasaan di lembaga-lembaga pemerintahan dan publik , yang notabene yaitu orang-orang beragama , kelihatan sama sekali tidak memelihara amanah dan memegang integritas. Sebaliknya , posisi otoritas yang mereka pegang memicu keleluasaan untuk melaksanakan tindakan ’aji mumpung’ demi laba pribadi , kelompok , dan juga partai politik. Akibatnya , kerusakan terjadi tidak hanya pada tingkat pribadi , tetapi juga lingkungan institusi pemerintah dan publik , partai politik dan masyarakat lebih luas. Korupsi tidak lain mengakibatkan distorsi dan kekacauan luar biasa dalam penyelenggaraan pemerintahan , pembangunan , dan penataan kehidupan publik.

Tanpa harus diteliti setrik cermat , kebanyakan pelaku korupsi—baik yang masih tersangka maupun yang sudah dijatuhi hukuman—adalah orang-orang yang jikalau dilihat dari namanya saja sudah memperlihatkan nama yang agamis. Terlihat keluarga mereka yaitu juga keluarga agamis. Namun , nama agamis dan berisi doa untuk menjadi orang beriman dan bertakwa ternyata juga tidak menjadi halangan melaksanakan korupsi serta aneka macam bentuk pelanggaran pedoman agama dan ketentuan aturan negara. Jika dari sudut pribadi saja tidak ada halangan untuk korupsi , mudah tak ada lagi halangan yang tidak bisa mereka atasi , termasuk pedoman agama dan ketentuan aturan negara yang bisa dimanipulasi.

Tidak jarang pula para pelaku korupsi ini mencoba melaksanakan sin laundering , mencuci dosa , contohnya dengan naik haji atau pergi umrah; mengirim bawah umur ke sekolah Islam , madrasah , atau pesantren; memperlihatkan proteksi , infak , dan sedekah ke masjid atau forum pendidikan Islam; dan lebih telanjang lagi dengan menggunakan jilbab atau bahkan cadar ketika diusut KPK atau kejaksaan dan di pengadilan. Publik setrik tiba-tiba dihadapkan dengan kesan , para pelaku yang berjilbab dan bercadar itu yaitu orang-orang yang menjalankan perintah agama dan alasannya itu ’tidak mungkin korupsi’.

Akan tetapi , terperinci , dosa alasannya korupsi dan perbuatan keji dan mungkar lain yang mereka lakukan tidak bisa dicuci dengan trik-trik menyerupai itu. Dosa sebesar biji sawi sekalipun tetap tercacat; tidak bisa terhapuskan. Dalam Islam , ada pedoman la talbisu al-haqqa bi al-bathil—jangan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan dan kemungkaran. Perbuatan baik , menyerupai naik haji dan pergi umrah atau memperlihatkan infak dan sedekah tidak setrik serta-merta sanggup menghapuskan tindakan batil dan mungkar , menyerupai korupsi.

Sebenar-benar Tobat

Jika para pelaku korupsi dan tindakan batil dan mungkar lainnya ingin memperbaiki kehidupannya , tidak ada jalan lain kecuali dengan bertobat sebenar-benar tobat. Tobat menyerupai ini dalam istilah Islam disebut taubatan nashuha. Allah SWT berfirman: ”Hai orang-orang beriman , bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha.”

Tobat setrik bahasa berMakna ’kembali’. Tegasnya , kembali kepada kebenaran yang ditetapkan Allah SWT dan Rasul-Nya. Tobat dengan demikian , pertama-tama , mengharuskan penyesalan atas perbuatan batil dan mungkar yang telah dilakukan. Kemudian , diikuti dengan kesungguhan untuk kembali ke jalan yang benar dan pada ketika yang sama berjanji kepada diri sendiri dan Allah SWT untuk tidak mengulangi jalan yang sesat dan koruptif.

Tobat seorang pelaku tindakan keji dan mungkar menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah sanggup dilakukan pribadi dengan memohon ampun kepada-Nya. Allah SWT Maha Pengampun dan menyayangi mereka yang meratapi perbuatan keji dan mungkar yang ia lakukan , serta bertobat dengan sebenar-benar tobat.

Akan tetapi , tobat dari tindakan yang merugikan orang lain , masyarakat , dan bangsa tidak bisa terselesaikan dengan hanya melaksanakan tobat kepada Allah. Sebaliknya , tobat tersebut bisa sah hanya dengan menuntaskan urusan dengan semua pihak terkait. Jika pelaku tersebut melaksanakan korupsi , ia wajib mengembalikan uang dan harta hasil korupsinya kepada asalnya—aset publik dan negara. Dengan kata lain , jikalau sekadar tobat tanpa mengembalikan uang dan harta hasil jarahan aset publik , tobatnya yaitu sia-sia belaka.

Bulan Ramadhan membukakan pintu sangat lebar untuk taubatan nashuha yang sanggup memperbaiki kehidupan pribadi , masyarakat , bangsa , dan negara. Dan , bulan suci ini juga memperlihatkan peluang sangat besar untuk penguatan integritas diri; menjadi orang-orang yang takwa , yakni terpelihara dari perbuatan yang keji dan mungkar serta aneka macam bentuk perbuatan koruptif lain.

Azyumardi Azra , Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta;Anggota Council on Faith , World Economic Forum , Davos

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ramadhan: Tobat “Nasuha”"

Total Pageviews