Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Generasi Digital

Radhar Panca Dahana

Dalam sebuah goresan pena yang memenangi sayembara penulisan esai Kompas pada 1980-an , saya membahas sebuah masalah yang tergambar dalam judulnya , ”Generasi yang Hilang”. Sebuah istilah yang kemudian muncul pada dekade berikutnya di Amerika sebagai citra dari mereka yang lahir di pertengahan 1960-1970-an.

Itulah generasi yang digambarkan dengan bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal pMaknasipasi politiknya alasannya yakni skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. ”Generasi yang tersingkirkan dan tak pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir ,” tulis Newsweek.

Di Indonesia , kondisi itu sangat gampang dimafhumi. Segimana saya jelaskan dalam esai 1980-an itu , generasi yang kemudian hari juga disebut sebagai ”generasi X” itu hidup dan berkembang dalam realitas politik , sosial , dan kultural yang penuh tekanan alasannya yakni otoritarianisme rezim Orde Baru. Segimana kerap juga saya nyatakan , bukan korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi ini sesalkan , melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi dewasa dan anak muda kala itu alasannya yakni indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan rezim.

Generasi yang Bertumbuh

Generasi X yakni segerombolan anak yang bukan hanya biaya sekolah , uang jajan , dan makan minumnya ditentukan orangtua , bahkan sampai warna sepatu atau profesi idaman tak bisa mereka tentukan sendiri. Inilah generasi yang duduk sendiri , di belakang rumah , di bawah pohon , membaca biografi tokoh-tokoh dunia dengan fantasi yang disembunyikan.

Maka , saya pun mengamati almarhum cendekiawan Wiratmo Soekito dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman Ismail Marzuki , Jakarta , mengikuti triknya membaca buku dengan hafal setiap kutipan , halaman , penerbit , sampai kredit bukunya. Namun , semua itu menyerupai tak berjejak pada generasi berikut , generasi Y alias mereka yang lahir antara 1976 dan 1995. Barisan insan muda yang rapi dan canggih , dengan kearifan teknologis yang tinggi , imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi tradisional. Sebuah generasi yang menyebar dalam keragaman etnik dan ras , dekat dengan televisi multikanal , radio satelit serta internet generasi pertama.

Pada masa kanak dan dewasa generasi ini , dunia mengalami pertumbuhan dan perubahan dengan percepatan bukan lagi kecepatan , membuat mereka menjadi lebih fashionable dan well-known dan loyalitasnya tinggi pada merek yang mereka anggap memberi identitas. Mereka turut memilih apa yang keluarga harus konsumsi , memiliki kartu kredit dengan tanda tangan orangtua , dan mulai sanggup merancang masa depannya sendiri.

Betapapun orangtua atau nenek-kakek mereka masih duduk manja di bangku kekuasaannya , tetapi di tingkat bawah sesungguhnya terjadi pergeseran serta pergerakan yang tak terbaca oleh suprastruktur , dan diselenggarakan oleh generasi kreatif ini. Jarak antara sains dan teknologi dengan realitas mutakhir—yang bergotong-royong menjauh—masih sanggup mereka jembatani , wangsit teraktualisasi , betapapun kadang sumir dan Maknafisial.

Namun , dunia tidak berhenti bergerak. Teknologi komunikasi dan informasi menyerupai menggenggam dunia dalam telapaknya , membuat insan menyerupai berlari-lari kecil untuk mengelilingi bumi dan mengetahui setiap detail badan (persoalan)-nya. Media menjadi begitu canggih sehingga hidup superkompleks bisa diringkusnya dalam data , yang siapa pun bisa mengaksesnya dalam hitungan detik. Kini dunia juga dalam genggaman kita , manusia.

Pada masa inilah , pasca-1995 , lahir sebuah generasi gres , ”generasi Z” , yang tak hanya diubah oleh percepatan teknologi di atas , tetapi juga mengubah hampir setiap dimensi hidup berbudaya kita. Bukan hanya gaya hidup , trik berpikir , kosmologi , sampai trik menatap waktu atau masa kemudian dan masa depannya.

Mereka , yang kerap disebut sebagai iGeneration (i: Internet) atau NetGeneration atau Generation@ , yakni gelombang insan yang tumbuh bahkan menjadi digital: generasi digital!

Penuh Paradoks

Maka , semua jadi purba dalam soal gimana kita mengaktualisasi diri , meneguhkan eksistensi. Diri dibuat oleh perjumpaan data dan kata yang diakses dari seluruh dunia , sampai sudut terkucilnya , lewat BBM , WWW , instant messaging , MP4 , mobile phone , Skype , sampai Youtube. Hidup yang posmodernik , multikultural , dan global menjadi keniscayaan yang sesungguhnya memberi mereka paradoks: bebas meneguhkan atau membuat klaim ihwal diri sendiri tetapi ketika bersamaan mereka lenyap dalam riuh.

Jadilah kemudian mereka generasi yang membisu alasannya yakni dunia sudah terlalu (di) dalam dirinya. Generasi yang tidak terusik ketika berhadapan dengan monitor atau keypad di gadget-gadget terbarunya. Manusia-manusia yang sangat mudah , bahkan hiperpragmatis , dengan kantong yang tipis tetapi padat isi dan makna: ada dunia di dalam sakunya , dalam bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya.

Inilah generasi yang sangat berbeda dengan penulis yang mengeja semua aksara dan kata , menghafalkannya dengan bangga. Sementara generasi ini mengakses dan meresepsi data , kata , dan makna dengan cubitan di kotak screen. Dengan ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak , bahkan terlalu banyak.
Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak.

Generasi inilah yang bakal memilih gimana sebuah bangsa , negara , bahkan kebudayaan bakal dikembangkan dan menjadi pada masa nanti. Mungkin sebagian kita tidak rela. Namun , betapa desisif mereka , tidak hanya membuat musik , tari , pertunjukan menjadi ”Gangnam Style” , tetapi juga politik , aturan , agama bahkan forum internasional. Karena ratusan juta insan mengamininya.

Lalu di mana James Joyce , Homerus , Hemingway , atau Chairil Anwar dan Ronggowarsito? Mereka yakni teman usang kutu-kutu yang menggerogoti buku-buku , monumen masa lalu. Peradaban dan kebudayaan sedang dibuat ulang dengan perangkat keras dan lunak terbaru , yang bahkan generasi saya , X , merasa aib dan sungkan untuk mengakui , ”Maaf , saya tidak paham itu.”

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengingat generasi canggih ini bergotong-royong juga terluka oleh krisis-krisis politik , moneter , sampai lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek dan buyutnya. Mereka yang begitu kasar ingin membeli iPad terbaru , tetapi ternyata ia sudah terlalu banyak utang. Apa dan gimana kondisi mental sosial itu memberi mereka alasan-alasan terbaik untuk membentuk diri , masyarakat , atau bangsanya?

Betapa tidak bertanggung jawabnya jikalau kita lebih peduli pada rebutan bangku kosong dan rezeki murahan ketimbang membantu generasi ini membentuk diri dan masa depannya. Atau kita siap menyambut generasi kosong , generasi katastropik yang tidak (mau) mengerti untuk apa mereka ada di atas tanah ini?

Radhar Panca Dahana , Budayawan

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Generasi Digital"

Total Pageviews