Franz Magnis-Suseno
Menurut para andal , jumlah orang ”PKI” dan ”terlibat” yang dibunuh pada Oktober 1965-Februari 1966 minimal setengah juta dan maksimal 3 juta orang. Angka terakhir disebut oleh Sarwo Edhie , Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang berperan menumpas PKI kala itu.
Kalaupun kita mengasumsikan angka korban terkecil (500.000 orang) , pembunuhan itu masih termasuk empat pembantaian paling mengerikan yang pernah dilakukan umat insan dalam bab kedua kala ke-20.
Yang pertama yaitu janjkematian 30 juta orang atau lebih di China akhir ”kebijaksanaan” politik Mao Zedong. Kedua , pembunuhan 2 juta orang oleh rezim Pol Pot di Kamboja.
Ketiga , pembunuhan 800.000 orang Tutsi dalam agresi genosida di Rwanda.
Sempat muncul omongan pemerintah mau minta maaf. Namun , kini justru mereka yang dibunuh dan jutaan korban lain yang ditahan , disiksa , diperkosa , tanpa terang apa kesalahannya , yang disuruh minta maaf lebih dahulu!
Peristiwa Kelam
Betul , saya setuju bahwa komunisme yaitu ideologi jahat dan PKI merupakan bahaya serius. Saya pun merasa lega bahaya PKI tidak ada lagi.
Dalam Peristiwa Madiun 1948 dikatakan bahwa para pemberontak yang dipimpin Muso membunuh sekitar 4.000 orang , banyak di antaranya ulama dan tokoh agama lokal. Bisa dimengerti bahwa ingatan terhadap insiden itu tidak padam.
Jelas juga , saya mengalami dan turut mencicipi , pada 1965 suasana begitu serius. Ada semacam perasaan ”saya atau mereka”. Dalam udara , amis bakal terjadi perang Bharatayudha begitu kuat.
Semua itu menjadi latar belakang mengapa setelah Gerakan 30 September bergerak , suatu pemecahan damai— yang didambakan Presiden Soekarno , jauh dari apa yang membara dalam masyarakat—sepertinya tidak mungkin.
Mari kita urutkan lagi. Peristiwa tahun 1948 korbannya 4.000 orang , kemudian antara 1948-1965 korban mati akhir keganasan PKI masih sanggup dihitung dengan jari dua tangan , dan terakhir insiden 1965. Sepanjang 1965-1966 ada 500.000 orang dibunuh , hampir 2 juta orang ditangkap (angka yang pernah disebutkan Sudomo , Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau Kopkamtib 1978-1988) , dan ratusan ribu ditahan lebih dari 10 tahun tanpa pengadilan , sering dalam keadaan amat tidak manusiawi.
Ini belum termasuk 10 juta orang yang distigmatisasi , dihancurkan identitasnya sebagai warga negara , dihina , dipersetan. Dan , kini mereka yang harus minta maaf? Bagaimana itu?
Perlu diperhatikan , pembunuhan yang melibatkan masyarakat—biasanya ormas pemuda— terjadi tidak hanya di Jawa Timur , tetapi juga di Bali , Flores , Sumatera Utara , dan beberapa daerah lain. Maknanya , pembunuhan itu bukan urusan satu golongan atau kelompok saja. Yang terang , yang bertanggung jawab atas kejahatan itu yaitu militer. Adalah mustahil rakyat terlibat dalam pembunuhan tanpa menerima petunjuk dan angin oleh militer.
Sekarang dikatakan bahwa pembunuhan dalam ukuran genosida itu perlu alasannya ”kalau insiden itu tak terjadi , negara kita tak bakal menyerupai sekarang”.
Memang , pernyataan itu ada benarnya. Tanpa Gerakan 30 September , Jenderal Soeharto tidak bakal menjadi Presiden RI dan seluruh sistem Orde Baru tidak bakal ada. Namun , menyampaikan bahwa bangsa Indonesia hanya sanggup selamat setelah membunuhi ratusan ribu warga dan mencelakakan puluhan juta lainnya , sungguh keterlaluan. Saya jadi ngeri. Siapa lagi yang lantas perlu dibunuh semoga bangsa ini sanggup lebih maju lagi?
Omong Kosong Besar
Tentu saja ada nonsense , omong kosong , besar dalam ucapan itu. Nonsense yang gampang dimengerti alasannya. Nonsense itu seenaknya mencampurkan tiga tahap pasca-G30S. Pertama , penumpasan pasukan yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta pada 1 Oktober 1965.
Kedua , pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang PKI yang gres mulai tiga ahad kemudian di Jawa Tengah setelah Sarwo Edhie Wibowo hingga dengan pasukan RPKAD-nya.
Tahap ketiga dimulai setelah Soeharto pada 11 Maret mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno. Terjadilah penangkapan , penahanan , dan penghancuran basis kehidupan lewat stigmatisasi sebagai pengkhianat bangsa dan penghinaan besar-besaran (ingat fitnah kotor terhadap Gerwani) yang sepenuhnya terjadi pada era Soeharto.
Yang betul yaitu bahwa andai kata setelah 1 Oktober 1965 PKI oleh militer dinyatakan dibekukan , kemudian semua kantor PKI ditutup/diduduki (segimana memang terjadi) , dan organisasi-organisasi yang dianggap berhubungan dengan PKI dihentikan , selesailah bahaya komunis. Tak perlu seorang pun dibunuh (kecuali yang terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 pantas dieksekusi sesuai tugas mereka).
Dengan mencampurkan tiga tahap di atas , seolah-olah kejahatan tahap kedua dan ketiga sanggup ditutup-tutupi. Maka , yang kita saksikan kini kolam ketoprak di pasar malam , tetapi tidak ada lucunya. Sungguh ini zaman edan , zaman kalabendu , di mana para korban disuruh minta maaf hanya alasannya ingin sedikit keadilan.
Tuhan ampunilah kita semua.
Franz Magnis-Suseno , Guru Besar Emeritus STF Driyarkara
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ketoprak Yang Tidak Lagi Lucu"