Asrudin
Freedom House , forum riset dan advokasi di bidang demokrasi dan hak asasi insan terkemuka di AS , pada 17 September 2012 memublikasikan hasil penelitiannya terkait pembangunan demokrasi di 35 negara , periode 1 April 2009-31 Desember 2011.
Hasil laporan penelitian itu diberi judul ”Countries at the Crossroads 2012”. Bersama negara-negara ASEAN lain , menyerupai Vietnam , Malaysia , dan Kamboja , Freedom House memasukkan Indonesia dalam daftar negara-negara yang demokrasinya berada di persimpangan jalan.
Penilaian jelek terhadap demokrasi Indonesia ini bekerjsama tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011 , contohnya , juga menempatkan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasinya (flawed democracy).
Indonesia ditempatkan pada peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti. Peringkat Indonesia masih jauh di bawah Timor Leste (42) , Papua Niugini (59) , Afrika Selatan (30) , dan Thailand (57). Cacat ini ditandai , antara lain , oleh pemilu yang tidak higienis , pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu , serta keterancaman pluralisme (Latif , 2012).
Merujuk laporan Freedom House dan Indeks Demokrasi Global , patut kita bertanya: masih pantaskah negara ini berbangga dengan sebutan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga sehabis India dan AS?
Indikator.
Pemerintah boleh saja membela diri dengan menolak hasil penelitian tersebut alasannya yakni kesuksesan Indonesia dalam menjalankan pemilu legislatif dan pemilu presiden setrik demokratis pada 1999 , 2004 , dan 2009. Bahkan , pemilu di tingkat kepala tempat pun sudah dipilih setrik eksklusif oleh rakyat.
Pembelaan menyerupai itu tentu bisa dibenarkan. Namun , juga harus diingat , indikator maju atau tidaknya demokrasi tidak hanya diukur melalui sukses pemilu. Banyak indikator lain yang mesti diperhatikan.
Literatur ilmu politik kontemporer sendiri membagi demokrasi menjadi dua jenis , yaitu negara demokrasi mapan (NDM) dan negara yang sedang menuju demokrasi (NSMD). Ini untuk membedakan dosis maju atau tidaknya negara demokrasi (Snyder , 2000).
NDM yakni negara yang kebijakan pemerintahnya , baik di dalam maupun luar negeri , disusun oleh para pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum yang langsung-umum-bebas-rahasia (luber) dan jujur , adil (jurdil) serta dilakukan setrik berkala. Tindakan-tindakan para pejabat dibatasi banyak sekali ketentuan konstitusional dan kewajiban terhadap kebebasan sipil.
Sementara itu , NSDM yakni negara yang belum sepenuhnya memenuhi prasayarat-prasyarat yang terdapat dalam kriteria NDM. Sebagai teladan , Republik Ceko dan Yugoslavia di awal 1990-an yakni jenis NSDM. Meskipun kedua negara ini telah melaksanakan pemilihan umum setrik luber dan jurdil , kebebasan sipil dalam beropini masih dikekang.
Menurut Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) , sebuah negara sanggup menjadi NDM yakni saat telah dua kali melaksanakan pergantian kekuasaan untuk menandai telah terjadinya konsolidasi demokrasi. Demokrasi dipandang terkonsolidasi bila kekuasaan telah berpindah tangan sebanyak dua kali melalui proses pemilu yang luber dan jurdil.
Linz dan Stepan juga menjelaskan , demokrasi yang terkonsolidasi yakni saat beliau merupakan the only game in town. Itu berMakna tidak ada lagi jalan bagi partai politik atau kelompok untuk berkuasa selain dengan memenangi pemilihan umum setrik luber dan jurdil.
Jauh lebih luas dari pandangan Linz dan Stepan , organisasi Freedom House menjelaskan , bila ingin bermetamorfosis NDM , negara itu harus memiliki kelembagaan dan aturan yang solid , politik yang bersifat kompetitif , pemilihan umum yang tetap , pMaknasipasi publik yang luas , pembatasan kekuasaan administrator , kebebasan berbitrik , dan penghormatan terhadap kebebasan sipil; termasuk di dalamnya yakni kebebasan bagi kaum minoritas.
Demokrasi Indonesia
Setrik definitif , meski belum keseluruhan , Indonesia telah memenuhi prasyarat-prasyarat untuk disebut NDM. Sebutlah menyerupai pemilihan umum yang luber dan jurdil , pMaknasipasi publik luas , kebebasan berbitrik mulai tumbuh , media massa tak lagi terkekang , dan konsolidasi demokrasi setrik tenang telah berpindah tangan lebih dari dua kali. Jika mengacu pada hal itu , tentu masuk akal bila Indonesia dimasukan sebagai negara demokrasi mapan ketiga sehabis India dan AS.
Meski begitu , Indonesia masih memiliki beberapa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh demokrasi. Dalam masalah kekerasan terhadap Ahmadiyah , Indonesia dinilai gagal dalam memberi ruang kebebasan beragama bagi kaum minoritas. Sejak pemerintah menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) , 2008 , perihal Ahmadiyah , kekerasan terhadap kaum Ahmadiyah semakin meningkat. Selain itu SKB juga telah membatasi atrik kaum Ahmadiyah di beberapa provinsi Indonesia.
Tak berhenti di situ , kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Kali ini minoritas Syiah yang jadi korbannya. Umat Islam Syiah di kabupaten Sampang , Madura , beberapa waktu kemudian mendapat perlakuan yang tidak manusiawi oleh kelompok yang menilai fatwa mereka sesat. Akibatnya , dua pengikut Syiah di Sampang meninggal. Ini terperinci pukulan telak bagi kita alasannya yakni demokrasi Indonesia tak bisa melindungi kelompok minoritas dengan memperlihatkan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Begitu pula masalah korupsi. Berdasarkan data Transparency International Ranking 2011 , Indonesia masuk peringkat 100 indeks persepsi korupsi (IPK) dari 183 negara di seluruh dunia. Indonesia menempati skor IPK sebesar 3 ,0 pada 2011 , naik 0 ,2 dibanding 2010 sebesar 2 ,8.
Lompatan skor itu bukanlah pencapaian besar alasannya yakni Indonesia sebelumnya telah menargetkan mendapat skor 5 ,0 dalam IPK 2014. Hasil survei tersebut merupakan penggabungan hasil 17 survei yang dilakukan lembaga-lembaga internasional pada 2011. Rentang indeks didasarkan angka 0-10. Semakin kecil angka indeks memperlihatkan potensi korupsi negara tersebut cukup besar. Itu Maknanya tidak ada perubahan yang signifikan dalam hal upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Data tersebut setidaknya memperlihatkan keakuratan hasil penelitian Freedom House perihal menurunnya kualitas demokrasi Indonesia bila dilihat dari kategori hak warga negara (untuk masalah kebebasan beragama bagi minoritas) dan aturan aturan (untuk masalah korupsi).
Jika Indonesia ingin demokrasinya dinilai mapan , pemerintah disarankan bisa melindungi kelompok-kelompok agama minoritas dan pemerintah juga perlu didorong melaksanakan perbaikan setrik menyeluruh pada institusi penegak hukum; dalam hal ini kepolisian , kejaksaan , dan forum pengadilan. Selain itu , pemerintah juga harus berani menuntaskan kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan politisi , durjana aturan , dan pejabat publik tingkat tinggi.
Apabila hal itu tidak juga dilakukan pemerintah , Indonesia layak dimasukkan Freedom House dalam daftar negara-negara yang sedang berada di persimpangan jalan.
Asrudin; Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Demokrasi Di Persimpangan Jalan"