Ahmad Syafii Maarif
Salah satu aspek terpenting pedoman Islam yang sering ditelantarkan sepanjang sejarah oleh umatnya ialah kepedulian sosial terhadap mereka yang kurang beruntung. Padahal , ini ialah cuilan dari prinsip keadilan , yang merupakan sisi lain dari mata uang yang sama dari iman monoteisme (tauhid).
Puasa Ramadhan selama satu bulan , yang tiba sekali dalam setahun , dalam perspektif ini ialah lonceng peringatan keras bagi orang beriman semoga duduk masalah keadilan jangan sekali-kali dilecehkan. Fenomena seorang Muslim menjadi penganut Marxisme sanggup ditelusuri penyebab utamanya , yakni alasannya ialah penguasa dan elite masyarakatnya telah mengabaikan dimensi kepedulian sosial yang demikian tajam diperintahkan Al Alquran , khususnya surat-surat yang diwahyukan pada periode Mekkah (610-622).
Pada periode ini , Al Alquran tidak hanya berbitrik duduk masalah iman dan tauhid , segimana masih diajarkan di madrasah dan pesantren. Akan tetapi , Al Alquran sudah pribadi membidik sistem oligarki Quraisy dengan piramida kekuasaannya yang eksploitatif terhadap masyarakat lebih banyak didominasi yang terpinggirkan.
Kekuasaan dan Keadilan
Karena pada periode Mekkah itu posisi politik Nabi Muhammad SAW masih sangat lemah , bidikan terhadap segala bentuk ketidakadilan itu masih berupa pedoman ekspresi yang belum mungkin dieksekusi. Baru pada periode Madinah (622-632) , dikala kekuasaan telah berada di tangan Nabi Muhammad , pedoman ihwal keadilan itu ditegakkan dan dilaksanakan setrik berani dan konsekuen. Sebab , beriman kepada Allah yang Tunggal tanpa diikuti tegaknya keadilan dan mekarnya kepedulian sosial dalam bingkai kemanusiaan , yang juga tunggal , tidak ada Maknanya bagi perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Sewaktu orang Quraisy ditanya ihwal siapa yang membuat alam semesta , tanggapan mereka ialah Allah!
Dalam ungkapan yang lebih lengkap , ikuti ayat Al Alquran ini: ”Dan kalau engkau bertanya kepada mereka [orang Quraisy]: ”Siapakah yang membuat langit dan bumi dan memudahkan [perjalanan] matahari dan bulan?” Niscaya mereka menjawab: ”Allah”. Maka mengapa mereka bisa dipalingkan [dari kebenaran]. Surat ini , berdasarkan sebagian besar pendapat para andal tafsir , diturunkan pada periode Mekkah. Masih ada beberapa ayat Makkiyah (turun pada periode Mekkah) lainnya yang mengandung substansi serupa.
Penduduk Mekkah , terutama golongan elite , berdasarkan testimoni Al Alquran ternyata percaya bahwa pencipta alam semesta ialah Allah. Namun , kepercayaan itu sama sekali tak ada kaitannya dengan duduk masalah keadilan dan kepedulian kaum berpunya terhadap penduduk miskin dan terkapar.
Dalam ungkapan Al Alquran , sikap peduli terhadap kaum telantar yang berselimutkan debu disebut sebagai al-‘aqabah (jalan mendaki dan sulit). Kita ikuti: “Tetapi beliau tidak menempuh al-‘aqabah itu. Tahukah engkau apa itu al-‘aqabah? [Yaitu] membebaskan hamba sahaya [dari perbudakan]. Atau memberi makan pada hari kelaparan. [Kepada] anak yatim yang ada kekerabatan kerabat. Atau orang miskin yang terkapar di atas debu.”
Munculnya sifat orang kaya yang kedekut (sangat kikir) ini alasannya ialah mereka percaya bahwa harta bendanya itu bakal membuat beliau kekal. Harta ialah segala-galanya bagi mereka kaum kaya itu. Perhatikan lukisan Al Alquran ini: ”Kerakusanmu kepada harta benda teramat sangat.”
Ayat-ayat Makkiyah ialah menyerupai ledakan gunung berapi untuk menghancurkan pilar-pilar oligarki yang berlaku otoriter dan pongah atas lebih banyak didominasi penduduk Mekkah yang tak berdaya. Padahal , mereka tak berdaya alasannya ialah korban dari sistem yang tidak menghargai martabat insan biasa.
Revolusi Arab dan Pemicunya
Revolusi yang meledak di negeri-negeri Arab-Muslim , semenjak tahun kemudian , ialah alasannya ialah kerakusan penguasa terhadap kekuasaan dan harta yang melampaui batas di atas penderitaan rakyatnya yang didera ketidakadilan dan kemiskinan. Bahkan , tidak jarang melalui fatwa para ulama resmi dan pertolongan Barat. Maka , berlakulah perselingkuhan antara kekuasaan dan fatwa agama. Alangkah kejinya , alangkah biadabnya!
Umumnya para penguasa ini tentu berpuasa di bulan Ramadhan dan mungkin telah menunaikan ibadah haji berkali-kali. Tetapi puasa ya puasa , haji ya haji: tidak ada kaitannya dengan upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan dan menggalakkan kepedulian sosial. Maka , tidaklah mengherankan kalau kesenjangan sosial-ekonomi di sana termasuk yang tertinggi hampir di seluruh dunia Islam.
Indonesia , bangsa Muslim terbesar ini , setali tiga uang dengan negeri-negeri Muslim Arab yang sekarang masih dalam suasana revolusi dan sedang gagap dalam memetakan masa depannya. Jika Nabi Muhammad SAW berkuasa semata-mata untuk mengibarkan panji-panji tauhid yang terkait rapat setrik organik dengan tegaknya keadilan dan keperdulian sosial sebagai salah satu hikmah puasa , maka sebagian besar penguasa Muslim berbuat sebaliknya. Mereka memang mengaku percaya kepada nabi kiamat ini , tetapi hampir sepanjang sejarah telah melecehkan semua nilai luhur itu. Dan , pemicunya tak lain alasannya ialah kerakusan terhadap harta dan kekuasaan yang sudah berada di luar kendali iman dan moral.
Akhirnya , perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan bagi seluruh umat beriman tertuang dalam Al Quran: ”Wahai segenap orang yang beriman! Diwajibkan kepada kau berpuasa segimana telah diwajibkan kepada umat sebelum kau , dengan keinginan kau bakal meraih posisi takwa.”
Takwa di sini tak sanggup diterjemahkan hanya sebagai takut kepada Allah. Ia bermakna adanya kesadaran mendalam dan nrimo dalam hati orang yang berpuasa bahwa Allah senantiasa mengawasi tingkah lakunya dari jarak yang tanpa batas.
Pemihakan pada keadilan dan kepedulian sosial ialah buah pribadi dari sikap takwa itu di samping nilai-nilai spiritual lainnya. Semestinya elite Muslim di negeri Pancasila ini mau melaksanakan introspeksi setrik tajam dan berani terhadap fenomena kekuasaan yang tecermin dalam ungkapan pertanyaan berikut. Bukankah kekuasaan politik pasca-proklamasi sebagian besar tergenggam di tangan para haji yang juga berpuasa , tetapi mengapa tonggak-tonggak keadilan dan kepedulian sosial masih saja diagarkan goyah dan kurang terurus?
Siapa tahu , puasa tahun 1433 Hijriah ini bakal bisa membangunkan kesadaran yang mendalam dan nrimo itu , demi perbaikan moral bangsa Indonesia yang masih berada di bawah bayang-bayang awan kelabu. Semoga Allah belum bosan membimbing bangsa ini ke arah jalan yang lurus dan benar. Selamat berpuasa!
Ahmad Syafii Maarif , Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Puasa Dan Kepedulian Sosial"