Azyumardi Azra
Ada banyak sekali ragam zakat yang wajib dikeluarkan bila sudah memenuhi ketentuan fikih perihal jumlah (nasab) dan masa kepemilikan , mulai dari zakat harta , zakat pertanian dan binatang , zakat mas dan kekayaan lain , zakat penghasilan , hingga zakat fitrah.
Kewajiban mengeluarkan zakat yakni untuk menyucikan penghasilan dan harta benda , serta menyalurkannya kepada delapan pihak (asnaf) yang berhak menerima. Mereka itu yakni fakir; miskin; amil (pengumpul zakat); mualaf (mereka yang gres memeluk Islam); budak (kini ada macam-macam perbudakan baru); gharimin (orang terlilit utang); fisabilillah (mereka yang berada di jalan Allah dan mengalami kesulitan pembiayaan , menyerupai penuntut ilmu , guru penyebar ilmu , dai , dan tentara pembela negara); dan ibnu sabil , yakni orang-orang yang sedang dalam perjalanan amal saleh dan kebajikan tetapi telantar alasannya yakni kekurangan dana.
Semua bentuk filantropi Islam sanggup diberikan kepada pihak peserta dalam bentuk uang kontan untuk konsumsi dan kebutuhan lain. Sebutlah menyerupai untuk beasiswa pendidikan , modal perjuangan kecil dan juga dalam bentuk barang (in kind) , menyerupai masakan iftar (jamuan untuk berbuka puasa) dan sahur , paket Idulfitri (biasanya berisi masakan kering , minuman dan pakaian) , serta beras sebagai zakat fitrah.
Paling Dermawan
Potensi filantropi Islam Indonesia sangat besar mengingat jumlah penganut Muslim Indonesia yang juga amat besar—bahkan terbesar di dalam cakupan wilayah sebuah negara mana pun di muka bumi. Menurut Sensus Penduduk 2010 , kaum Muslimin mencapai 88 ,2 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia yang sekarang diperkirakan 240 juta jiwa. Lebih dari separuh kaum Muslimin Indonesia sanggup diasumsikan termasuk ke dalam kelas menengah yang—menurut laporan Kompas , beberapa waktu lalu—mencapai sekitar 152 juta jiwa.
Dalam konteks filantropi Islam Indonesia pada perspektif komparatif , menarik mengutip beberapa hasil survei Global@dvisor bertajuk ”Views on Globalisation and Faith” yang dilakukan Ipsos MORI di 24 negara pada April 2011. Survei itu melibatkan hampir 20.000 responden berdasarkan garis keagamaan: Kristiani (Katolik dan Protestan di 19 negara); Islam di tiga negara (Indonesia , Arab Saudi , dan Turki); Hindu (India); serta Buddha di tiga negara (China , Jepang , dan Korea Selatan).
Terkait filantropi Islam , juga menarik mengutip hasil survei perihal agama sebagai motivator dalam melaksanakan pemberian (giving) dan menyebarkan (sharing) , yaitu kedermawanan dalam bentuk pemberian waktu dan uang —untuk membantu mereka yang membutuhkan. Hasilnya , di antara penganut Kristiani setrik keseluruhan 24 persen , Muslim 61 persen , Buddhis 20 persen , dan Hindu 33 persen. Ternyata kaum Muslim paling bahagia memberi —dan penting dicatat—di tiga negara yang disurvei itu atas dasar motivasi agama yakni Muslim Indonesia (91 persen) , diikuti Muslim Arab Saudi (71 persen) , dan Muslim Turki (33 persen).
Menarik pula , 83 persen Muslim Indonesia di bawah usia 35 tahun percaya agama merupakan motivator lebih besar dalam memberi dan berbagi. Ini yakni persentase tertinggi di dunia. Selanjutnya Arab Saudi 78 persen , Afrika Selatan (51 persen) , India (42 persen) , AS (41 persen) , Turki (39 persen) , Brasil (32 persen) , Korea Selatan (31 persen) , Meksiko dan Australia masing-masing 30 persen. Sisanya di bawah 30 persen dan Jepang terbawah dengan 12 persen saja.
Melihat banyak sekali data yang cukup mengejutkan perihal Islam dan Muslim Indonesia , Richard Allen Greene dari The CNN Wire , London , mewawantriki saya untuk meminta semacam penjelasan. Ini tidak lain berangkat dari persepsi kuno , kaum Muslim Arab Saudi paling dermawan. Namun , survei mengambarkan bahwa kaum Muslimin Indonesia ternyata lebih dermawan.
Potensi Besar
Meski dari sudut demografis dan potensi kedermawanan kaum Muslim Indonesia sangat besar , realisasinya masih jauh dari harapan. Menurut Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafidhuddin , pada 2011 realisasi dana filantropi Islam mencapai sekitar Rp 1 ,73 triliun. Jumlah ini tidak termasuk dana ZIS (zakat , infak , dan shadaqah) yang disalurkan eksklusif kepada mereka yang berhak menerimanya.
Padahal , berdasarkan beberapa estimasi , jikalau setiap dan seluruh Muslim Indonesia yang memiliki kelebihan rezeki dan harta mengeluarkan ZIS dan wakaf , potensi dana filantropi Islam Indonesia antara Rp 19 triliun hingga Rp 20 triliun per tahun.
Meski realisasi dana ZIS jauh lebih rendah daripada estimasi potensi , sanggup dipastikan jumlahnya selalu meningkat drastis dari tahun ke tahun. Peningkatan itu terang terkait dengan terus meningkatnya jumlah kelas menengah Muslim Indonesia. Mereka ini , yang memiliki kedekatan gres (attachment) kepada Islam , tidak hanya memunculkan ”gaya hidup baru” sebagai Muslim , menyerupai pergi haji dan umrah plus ziarah rohani dalam jumlah sangat besar , dan juga pemakaian jilbab , tetapi juga dalam pemberian dana filantropi.
Peningkatan dana filantropi Islam dalam dua dasawarsa terakhir mendorong tumbuhnya banyak sekali forum amil zakat , baik bersifat semi-pemerintah , belahan dari ormas Islam , ataupun berdiri sendiri jadi semacam LSM. Berkat peningkatan dana filantropi , dana ZIS disalurkan tidak hanya di dalam negeri , tetapi juga di luar negeri , menyerupai membantu bangsa Palestina—termasuk membangun rumah sakit di Gaza—dan terakhir etnis Rohingya di Myanmar.
Adanya dana filantropi dalam jumlah besar sangat penting dalam pemeliharaan dan peningkatan kohesi sosial. Kesediaan mereka yang berpunya memberi dan menyebarkan bukan hanya sanggup meringankan beban kehidupan kaum fakir , miskin , dan mereka lemah dan tertindas (dhu’afa dan mustadh’afin) setrik ekonomi , politik , dan sosial , melainkan juga sanggup mengurangi—jika tak menghilangkan—kecemburuan dan kejengkelan sosial di antara kelas-kelas sosial.
Dalam konteks kohesi sosial negara-bangsa Indonesia , penyaluran dana filantropi hendaknya kian inklusif; dengan juga menyalurkannya lebih banyak lagi kepada kalangan non-Muslim yang fakir dan miskin. Toh , mereka yang miskin di bumi Nusantara ini bukan hanya Muslim. Dengan begitu , nikmat dan berkah Idul Fitri dan filantropi Islam tidak hanya menjadi milik kaum Muslim , tetapi bagi bangsa setrik keseluruhan sehingga kohesi sosial mencakup seluruh ranah Indonesia.
Azyumardi Azra , Guru Besar Sejarah , Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Anggota Council on Faith , World Economic Forum , Davos
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Filantropi Untuk Kohesi Sosial"