Airlangga Pribadi
Salah satu bukti kegagalan proses institusionalisasi demokrasi: dalam 14 tahun kala reformasi , negeri kita tak bisa membendung tumbuh dan menguatnya kekuasaan oligarki yang berumah di partai politik. Kekuasaan oligarki yaitu komplotan kekuatan bisnis besar dan elite politik , dari tingkat nasional hingga lokal , yang setrik terpusat mengontrol dan memanfaatkan proses politik demokrasi melalui arena legislatif ataupun administrator bagi kepentingan ekonomi-politik sendiri.
Dalam memandang politik sebagai usaha tiap orang setrik kolektif merealisasikan kebaikan bersama , problem dari keberadaan oligarki ini tak saja terkait dengan kehadiran tanda-tanda politik dinasti dikala kekuasaan politik terpusat pada korelasi kekerabatan dengan elite politik utama dan mereka yang sanggup restu darinya. Lebih dari itu , penguasaan arena politik dan Maknakulasinya semata-mata bagi kepentingan bisnis politik dari kekuatan oligarkis—melalui parpol—ini telah membuat setiap langkah parpol kian menjauh dari agenda publik. Mereka membangun relasi-relasi yang setrik langsung hanya bersinggungan dengan kepentingan mereka. Juga menjauhkan elitenya dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.
Dilema politik modern ini mengingatkan kita pada ulasan Profesor (sejarah politik) Christopher Lasch dalam The Revolt of The Elites and the Betrayal of Democracy. Baginya , masalah dalam politik kontemporer tidak muncul dari penolakan kaum marjinal dan miskin alasannya yaitu rasa frustrasi mereka atas berlangsungnya proses politik demokrasi.
Mengisolasi Diri
Problem utama muncul dari penolakan kaum elite aristokratik modern memperjuangkan demokrasi sebagai idealitas dan amanah bagi seluruh warga negara dengan segenap aspirasi dan kebutuhannya. Dalam perkembangan politiknya , kaum aristokrat-oligark ini mengisolasi diri pada enklave dan ruang jejaring elitis yang sejalan dengan kepentingan sempit mereka.
Gambaran inilah yang tampil dari kuasa kaum oligark pada parpol Indonesia. Tiadanya prioritas kebijakan dalam arus politik dari tingkat nasional maupun lokal (baik di sektor pertanian , perburuhan , pedagang kecil sektor tradisional , maupun kelompok sosial marjinal lain di kala pasca-otoritarianisme) berakar pada masalah oligarki bisnis-politik yang menggurita dari nasional hingga ke lokal.
Baik pada konteks kebijakan pertanian bagi kalangan petani miskin , dalam arsitektur kebijakan pasar yang semestinya berpihak pada pedagang kecil tradisional , maupun dalam kekerabatan industrial untuk kepentingan kaum buruh , kita menemukan bahwa simpul-simpul utama sektor produktif bagi dominan kalangan masyarakat miskin di Indonesia ini tak bersinggungan dengan kepentingan aliansi bisnis- politik dari kaum oligark yang berumah di partai politik.
Pada sektor pertanian kita menyaksikan naiknya angka kemiskinan masyarakat desa yang berbanding terbalik dengan penurunan angka kemiskinan nasional. Apabila berpijak pada indikator ekonomi 2009 , angka kemiskinan nasional sebesar 32 ,53 juta jiwa (14 ,5 persen) menjadi 31 ,02 juta jiwa (13 ,32 persen) pada 2010 , kontras dengan angka kemiskinan pedesaan yang naik dari 63 ,35 persen menjadi 64 ,23 persen pada kisaran tahun yang sama (Khudori , 2011).
Di sektor pengelolaan pasar , kita menyaksikan semenjak tahun 2006 pertumbuhan pasar modern yang naik 31 ,4 persen , berbanding terbalik dengan turunnya pasar tradisional hingga pada level-8 persen. Meskipun keberadaan pasar modern tak identik tergerusnya pasar tradisional , minimnya perhatian terhadap infrastruktur ataupun pinjaman modal yang tak terlepas dari kebijakan politik menjadi masalah utama (AC Nielsen , 2006; Adri Poesoro , 2007).
Sementara itu , pada wilayah perburuhan , kaum buruh menghadapi desain pasar tenaga kerja yang cenderung meminggirkan tugas negara dan memagarkan buruh dalam kekerabatan industrial dengan pengusaha. Segenap problematika ekonomi-politik yang dihadapi lapisan sosial masyarakat akar rumput ini tak terlepas dari masalah struktural ekonomi-politik.
Pada konteks kekerabatan bisnis-politik , oligarki nasional hingga lokal yang berpusat di partai dan mengakibatkan DPR dan administrator sebagai instrumen , kepentingan mereka lebih berimpit dengan aktor-aktor ekonomi berskala besar di sektor finansial , ritel , real estate , dan modal asing—terutama di wilayah pertambangan—daripada bersinggungan dengan kepentingan ekonomi-politik masyarakat bawah yang mengalami proses pemiskinan struktural.
Menghadapi realitas ini , tidaklah mengherankan bahwa di bawah belenggu kuasa oligarki , proses politik demokrasi berhenti menjadi proses pemerdekaan kepentingan dominan warganya sendiri.
Kuota Akar Rumput
Dilema yang muncul berkaitan dengan proses demokrasi yang tengah berjalan di Indonesia yaitu bahwa pusaran kekuasaan kaum oligark justru bersarang pada parpol yang menjadi basis dari demokrasi kita. Maknanya , solusi mendasar terhadap masalah penyanderaan kepentingan rakyat oleh kuasa oligarki dalam proses politik di Indonesia mau tak mau harus melibatkan proses perombakan desain pelembagaan politik yang lebih sensitif terhadap problema kuasa , kepentingan , dan dominasi kaum oligarki di dalamnya.
Patut dipikirkan jalan membendung kekuasaan oligarki politik melalui pendisiplinan parpol dan segenap pelembagaan politik demokrasi dengan menampilkan kekuatan sosial akar rumput sebagai subyek politik faktual dalam demokrasi representatif. Saya mengatakan solusi pemberian kuota politik yang sejalan dengan pendekatan tindakan afirmasi politik (seperti kuota representasi perempuan) dengan mengatakan kuota politik minimal 20 persen bagi kekuatan produktif masyarakat akar rumput di setiap parpol. Sebutlah ibarat petani , buruh , dan pedagang tradisional. Bisa juga melalui model utusan golongan untuk duduk sebagai legislator di level nasional hingga lokal.
Dengan memasukkan representasi kekuatan politik kaum miskin , setrik organik terbuka peluang politik untuk memperjuangkan kepentingan mereka di level kebijakan sebagai penyeimbang dari praktik kuasa oligarki. Maka , usaha ini bakal mengubah wajah demokrasi kita dari sekadar menentukan pemimpin menjadi institusi yang melayani kehendak warga yang memimpikan pembangunan sebagai proses pemerdekaan.
Airlangga Pribadi , Pengajar di Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kuasa Oligarki"