Acep Iwan Saidi
Mereka tidak jadi ke Njati , apalagi Solo. Sudah dua hari berturut-turut mencoba. Namun , mereka tetap gagal bersaing dengan penumpang lain. Idulfitri I dan II tetap tidak bisa diajak kompromi. Mereka selalu terlempar ke sudut terminal sebelum kembali ke kamar sewanya yang kumuh.
Demikian pokok kisah Umar Kayam wacana janda beranak dua , pembantu rumah tangga di Jakarta , yang hendak pulang kampung Lebaran. Kayam melukiskannya dengan tragis melalui sebuah kisah pendek ”Ke Solo Ke Njati...” dalam kumpulan cerpen Parta Krama (1997). Kuntowijoyo dalam pengantar buku ini beropini , kisah Kayam ialah citra ketakberdayaan manusia.
Akan tetapi , barangkali soalnya bukan hanya itu. Lebih jauh bisa dikatakan , kisah Kayam tersebut merupakan tema yang terus-menerus diMaknakulasikan dalam kebudayaan kita , yakni wacana pulang. Dalam siklus Idulfitri , kebudayaan kita merumuskannya dengan kata pulang kampung , istilah yang bisa diMaknakan sebagai pulang ke kampung halaman.
Naluri Purba
Mudik ialah sebuah insiden dalam waktu yang melingkar. Peristiwa ini menjadi pasti mengingat konsep waktu dalam kebudayaan kita memang melingkar , bukan linear segimana masyarakat Barat. Kita memang sering mendengar ungkapan emosional dari seseorang yang pergi lantaran faktor tertentu , ”saya bakal pergi dan tidak bakal kembali” , tetapi ungkapan ini lebih banyak diucapkan insan modern. Cogan atau semboyan usang yang terkenal di Nusantara ialah setinggi-tinggi bangau terbang hasilnya ke pelimbahan juga.
Keniscayaan atas insiden pulang tersebut bersambung dengan keyakinan bahwa orang harus mengenal tanah kelahiran sebagai ”ibu kandung kebudayaannya”. Negasinya , barangsiapa tidak pulang ia bakal dicap telah lupa diri , lupa pada asal-usul. Orang yang lupa sedemikian bisa dianggap memiliki dosa budaya dan lantaran itu dimungkinkan bakal menerima ”siksa budaya” juga. Malin Kundang yang dikutuk jadi kerikil oleh ibunya ialah mitos terkenal untuk keyakinan ini. Kisah Malin Kundang bisa dibaca sebagai ”narasi metaforik” dari sosok yang tidak lagi (mau) mengenal tanah kelahirannya. Merujuk Lyotard (2004) , Malin Kundang merupakan inti pengetahuan tradisional wacana gimana insan harus bersikap sebagai makhluk budaya.
Saya ingin menyebut hal tersebut sebagai naluri purba. Berdasarkan naluri ini , pulang kampung jadi semacam ”ritual budaya” yang tak terhindarkan. Oleh alasannya itu , tokoh rekaan Kayam dalam ketakberdayaannya tetap berupaya untuk bisa pulang. Mereka memang tak bisa bersaing berebut sarana transportasi dengan pemudik lain. Namun , nyanyian yang kemudian terus-menerus disenandungkan anak-anaknya , ”ke Solo! , ke Njati! ,” yang kemudian jadi renungan si tokoh , menunjukkan: pulang ialah sebuah keharusan , meskipun hanya sebatas angan-angan.
Di luar kisah , dalam kehidupan positif hal yang sama juga berlaku bagi Durmin Aryanto. Sopir bus lintas trans-Sumatera itu selalu berusaha semoga bisa pulang kampung tiap Lebaran. Baginya pulang kampung bukan sekadar ritual tahunan , melainkan juga kewajiban (Kompas , 10/8/2012). Kita tahu kemudian: terdapat sejuta tokoh segimana rekaan Kayam dalam kisah , menyerupai juga ada sejuta Durmin dalam kehidupan nyata.
Refleksi Pulang
Lantas , mengapa insiden pulang kampung mesti bertepatan dengan bulan Ramadhan? Sejauh yang teramati , dalam masyarakat kita Ramadhan kiranya cenderung menjadi insiden budaya juga , bukan momen bagi penebalan daya religiositas. Lihatlah , yang menonjol pada Ramadhan ialah ”ritual budaya”: munggahan menjelang puasa , buka puasa bersama , jadwal seakan-bakal Islami di televisi , dan lain-lain.
Oleh alasannya itu , Ramadhan tak pernah memperlihatkan jejak berMakna dalam kehidupan keagamaan umat Islam. Alih-alih menjadi reflektif atau menahan diri dalam kontemplasi (puasa) dengan banyak sekali kegiatan , Ramadhan malah cenderung melahirkan hiruk-pikuk.
Ramadhan kemudian ditutup dengan Lebaran. Di sinilah pulang kampung sebagai insiden budaya bertemu dengan Ramadhan yang juga telah jadi insiden budaya.
Kita mengetahui , puncak pencapaian ideal ibadah puasa ialah ”kepulangan” , yakni kembalinya seseorang kepada fitrahnya sebagai insan tanpa dosa. Itu sebabnya ibadah puasa ditutup dengan sebuah hari raya yang disebut Idul Fitri (hari kembali menjadi suci). Namun , segimana telah disinggung , ”kepulangan substansial” ini agaknya telah mendangkal jadi kepulangan material (duniawi). Idulfitri dengan upatrik bersalaman antartetangga , sobat , atau kerabat tampak hanya jadi ritual kebudayaan. Selalu begitu tiap tahun.
Barangkali tidak seluruhnya negatif. Namun , kiranya menjadi lebih baik kalau kita juga memperlihatkan makna kepulangan setrik lebih reflektif. Sekaligus memahami lebih dalam makna keberangkatan , baik sebagai individu maupun sebagai bangsa. Sebagai individu , dalam hubungan dengan Tuhan , titik berangkat kita sesungguhnya sunyi dalam ruang dan waktu abadi. Lantas Tuhan ”melempar” Adam ke Bumi , jadi pengembara. Segimana ceramah para ulama dan pendeta , pengembaraan insan sesungguhnya merupakan perjalanan pulang. Sudah menjadi takdir bahwa insan bakal selalu kembali. Di lapis luar , kita memang menyerupai tengah berjalan ke depan. Namun , di lapis dalam bergotong-royong kita tengah melangkah ke belakang , kembali ke titik berangkat.
Sementara itu , sebagai bangsa kita juga harus selalu ingat dan beranjak pulang dalam pemahaman demikian. Sudah 67 tahun negeri ini bangkit , tetapi langkah kita tampak belum juga menemukan arah yang benar. Kita gagal merumuskan masa depan.
Hemat saya , hal itu lantaran kita tidak bisa memperlihatkan makna pada jadwal keberangkatan , bahkan untuk sekadar mengingatnya. Bukankah pada mukadimah Undang-Undang Dasar 1945 jadwal itu telah jelas. Kita hanya tahu Undang-Undang Dasar 1945 harus diamandemen , tetapi nyatanya tidak untuk dilaksanakan. Semoga Idulfitri yang nyaris bertepatan dengan perayaan kemerdekaan ini menjadi momentum yang pas untuk berkemas.
Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD ITB
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Genetika Pulang"