Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Kebudayaan Di Penjara Hukum

Radhar Panca Dahana

Pengalaman ini memalukan dan memberi banyak pelajaran. Sebagai seorang anak usia sebelas tahun , saya mencuri uang orangtua sebab ”dendam” merasa dianaktirikan. Akan tetapi , saya kepergok. Saat uang Rp 300 itu saya pegang dan hendak saya keluarkan dari laci lemari , saya merasa ada kehadiran seseorang di belakang punggung. Benar , ia ibu saya sendiri.

Saya tak mengurungkan niat mencuri. ”Protes” kepada orangtua lebih menguasai. Saya ambil uang itu dan pergi melewati ibu saya sempurna di ujung hidungnya. Saya tidak pernah paham Mengapa ibu saya , yang hajah , Jawa tradisional , dan mengorbankan segalanya untuk pendidikan ketujuh anaknya , tak sedikit pun menegur.

Saya membelanjakan uang curian itu dengan jajanan , yang tidak berhasil saya makan—dan kesudahannya saya berikan kepada pengemis kecil—karna wajah wanita yang mengeras dan berombak itu memenuhi visi saya. Sampai hari ini.

Namun semenjak itu , terutama sehabis saya berhadapan dengan anak saya , anak didik , mahasiswa , atau siapa pun di banyak sekali lembaga dan lembaga pendidikan , saya hanya memiliki satu tuntutan moral yang mustahil ditawar: tidak mencuri dan berdusta. Kebaikan dan kejahatan insan , semenjak tingkat terkecil dan termula , berawal dari satu moral itu.

Mungkin itu pelajaran terpenting: kebudayaan , betapapun diformulasi setrik ketat sebagai upaya terbaik insan dan kemanusiaan untuk meluhurkan spesiesnya , tetap memproduksi ketidakluhuran sebagai sisi kedua dari koin yang sama.

Agama , ideologi , ilmu , adat , sampai politik , aturan , ekonomi yaitu produk-produk kebudayaan yang kita lahirkan dan warisi untuk tujuan mulia di atas. Suatu tujuan yang tidak bakal pernah melahirkan sebuah adat yang setrik menyeluruh suci , mulia , atau humanis. Idea(lisme) ibarat itu tinggal sebagai sesuatu yang abnormal (idea) bahkan kadang absurd. Hidup pun tinggal sebagai pertarungan baik dan jelek yang inheren ada dalam diri insan , baik personal maupun komunal.

Dalam usaha kekal insan itu , ironi ataupun bencana kita jumpai bahkan turut kita produksi , termasuk ketololan atau kenaifan yang kita lakukan. Apa yang terjadi pada AAL yang divonis oleh sistem aturan kita bersalah sebab mencuri sepasang sandal , atau sukses remaja pelajar melahirkan kendaraan beroda empat Kiat Esemka , yaitu insiden mutakhir yang menamparkan ironi—bahkan tragedi—pada wajah kedewasaan aturan , politik , serta ekonomi kita sebagai negara dan bangsa.

Dusta Peradaban

Dalam negeri dan masyarakat yang membayangkan aturan memiliki posisi supreme , aturan pun jadi palu besi yang bakal menghancurkan kekerasan apa pun yang dilakukan/dimiliki oleh para penentang atau pengkhianatnya. Namun , dalam kenyataannya , aturan tetap yaitu sebuah produk kultural (manusia) yang sekuler , naif , sangat lemah , dan membesi hanya pada retorikanya , bukan pada praktiknya.

Manusialah sebagai pelaksana dan eksekutor hukum. Manusia juga yang setrik sadar melaksanakan gerak sentripetal yang menjadi kebalikannya. Hal terakhir ini sudah menjadi sifat alamiah insan , yang semenjak mula kebudayaan—tak hanya dalam agama—menganggap dirinya sebagai entitas terkuat , tertinggi , superior , atau khalifah di atas bumi.

Bukan hanya kecemburuan asali , juga sesungguhnya yaitu dusta peradaban , saat insan harus menyerahkan superioritasnya itu kepada produk yang akal-akali sendiri: hukum. Maka , sudah menjadi naluri dasar , insan menawarkan kedigdayaan kodratinya dengan trik mempersetankan dan mengkhianati hukum. Semua peralatan dan aparatus aturan sesungguhnya ada untuk mencegah atau melawan sesuatu yang naluriah itu. Namun , maaf , aparatus itu ternyata juga insan , dengan kompleks diri yang sama , yang membuat palu besi aturan tinggal rongsokan atau besi kiloan yang dapat dibeli atau digadai di mana dan kapan saja.

Apa yang sesungguhnya membuat kita tetap percaya dan berusaha mempertahankan sebuah aturan yaitu terpelihara dan dilahirkannya setrik berkesinambungan para panglima yang tegar , jujur , dan tidak mencuri. Di titik ini , aturan tak lagi berbitrik , tak ambil bagian. Namun , yang banyak berperan nilai-nilai dan moralitas luhur yang mengendap atau terinternalisasi ke dalam diri para panglima itu , sebagai hasil kerja kebudayaan atau diistilahkan dengan pembudayaan.

Dalam pengertian dasar ini , aturan dalam bentuk materiilnya tetap jadi kertas dan kata-kata kering. Ia jadi alasan dan tujuan kita melaksanakan pembudayaan melalui internalisasi di atas. Hukum yang bekerja tanpa proses pembudayaan semacam ini bakal jadi anak panah tanpa arah , senantiasa keliru dalam sasaran.

Pemberadaban Bangsa

Sebenarnya , dalam makna fundamentalnya , kerja-kerja kemasyarakatan dan kenegaraan kita yaitu proses pembudayaan manusianya , proses pemberadaban bangsanya. Fundamen inilah yang bolos dalam kesadaran strukturalistik kita. Kerja-kerja ekonomi , politik , keilmuan , contohnya , hanya selesai pada pencapaian- pencapaian pragmatis dan materialistis. Alhasil , setrik menyeluruh kebudayaan dan pembudayaan internal kita sudah tersandera oleh praktik sistemis itu.

Ketika kebudayaan ”dikembalikan” pada pendidikan , yaitu hal yang sangat keliru membayangkan dilema telah diselesaikan. Apalagi kalau berilusi bahwa kebudayaan hanya sebuah kerja sektoral dari pendidikan. Sebaliknya , pendidikan hanyalah satu sektor , betapapun vitalnya , dari kerja besar pembudayaan bangsa ini.

Setiap elemen kebangsaan dan kenegaraan , instansi , institusi , ormas , dan sebagainya yaitu aktor-aktor utama dalam proses besar ini. Bila tidak ada unit yang bekerja khusus untuk kebudayaan di semua elemen itu , semestinya kesadaran pembudayaan ini menjadi salah satu nilai dasar dari semua kerja , termasuk semua departemen dalam kabinet contohnya. Tanpa itu , semua kerja itu menjadi temporer tanpa visi , durasi , atau berkelanjutan.

Maka , saat aturan hanya bitrik atas nama kata-kata berbau kertas kering , sejumlah praktisi aturan bakal menyatakan keputusan hakim pengadilan negeri yang memvonis AAL yaitu ”benar”. Bukan hanya rasa keadilan yang tergugat di sini , tapi juga pembudayaan aturan yang terhumiliasi. Tindakan polisi yang melaporkan pencurian , jaksa , sampai hakim yaitu aparatus yang setrik ”legal” kita terima atau benarkan melaksanakan humiliasi itu.

Kita paham , semenjak di tingkat sang polisi pelapor sekaligus sebagai pegawanegeri penegak aturan selaiknya mempekerjakan aturan berdasar nilai kekeluargaan dan pengajaran , bukan dengan kekakuan prosedur vonis. Sebagai salah satu prosedur pembudayaan yang adat dan tradisi cukup banyak mewariskan kepada kita.

Dan , prosedur ini manis sekali kalau terjadi di semua lapangan kehidupan kita. Maka , ironi dari kendaraan beroda empat SUV Kiat Esemka , contohnya , tidak harus jadi tamparan memalukan bagi Menteri Perindustrian , Menteri Perdagangan dan kabinet yang berangasan membuat kemandirian ekonomi dan teknologi , tetapi lumpuh di hadapan kartel industri otomotif yang dikuasai modal aneh semenjak lebih setengah era lalu. Namun , siapa yang berani?

Radhar Panca Dahana , Budayawan

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Kebudayaan Di Penjara Hukum"

Total Pageviews