Franz Magnis-Suseno
Mudah ngantuk itu talenta atau penyakit? Yang terang , saya gampang sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bitrik. Itu warisan dari ayah saya.
Waktu saya masih di rumah , habis makan malam , keluarga saya duduk-duduk bersama , ngobrol , baca-baca. Begitu pula jikalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun , biasanya ayah saya duduk di sofa , tertidur nyenyak: 10 menit , seperempat jam , tak lebih. Kami sudah biasa.
Bahwa saya mewarisi penyakit itu , saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama , saya harus tidur dulu 10-15 menit , gres dapat mulai segar. Karena itu , saya selalu menentukan daerah duduk di baris paling depan , di dingklik paling luar , alasannya yaitu daerah itu di luar sudut pandang profesor.
Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: ”Kamu kok dapat tidur lezat , kemudian eksklusif menanyakan sesuatu!” Memang itulah seni administrasi saya semoga para profesor merasa tenang. (Hanya sekali , sudah di Yogyakarta , saya menanyakan sesuatu yang ekstrem terbelakang , tetapi dosen malah menerka itu tanda wisdom lebih tinggi!)
Dua kali—sekali di Jerman , sekali di Yogyakarta—saya tertidur begitu nyenyak sampai jatuh dari dingklik di tengah kuliah dengan suara besar. Dua kali itu profesor kaget , menerka saya kena serangan jantung. Saya hanya bilang , ”Tidak apa-apa.”
Dengan pengalaman itu , saya tak pernah murka jikalau mahasiswa di kuliah saya ngantuk. Biasanya di kuliah pertama saya jelaskan tata tertib yang saya minta: omong-omong mengganggu saya. Namun , jikalau ada yang mengantuk , tak apa-apa , asal tidak mengorok. Pengalaman saya , tidur 10 menit saja membuat segar untuk dua jam berikut. Itu lebih baik daripada (amatan saya berulang-ulang) mahasiswa bersusah payah berusaha mempertahankan sekurang-kurangnya satu mata terbuka: gantian kiri atau kanan. Rasa saya , mesakaké wongé.
Kacau-Balau
Dua kali saya mengalami sesuatu yang mengherankan saya sendiri. Yang pertama pada 1980-an , waktu kuliah filsafat di UI. Malam sebelumnya saya pulang dari Yogyakarta naik kereta api. Saya memang mengantuk. Nah , di tengah kuliah , saya tampaknya mengalami out of body experience. Saya mendengarkan ada orang omong. Lama-kelamaan saya jadi sadar , yang omong itu saya sendiri. Omongan itu kacau-balau. Ternyata saya tertidur sedang mengajar , tetapi kok omong terus? Saya kemudian memukul meja dan berteriak , ”Saya butuh kopi!” ”Betul , Romo ,” jawab mahasiswa dan mengambil kopi.
Pengalaman kedua di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada tahun 1970-an. Sekitar pukul 12 siang. Panas sekali. Belum ada AC. Kuliah saya itu bacaan teks Inggris. Saya memberi mereka teks untuk dianalisis sendiri. Semua sibuk dan diam. Kiranya saya kemudian tertidur.
Akhirnya saya mulai sadar kembali. Suasana amat sepi. Semua mahasiswa kelihatan tertidur juga. Namun , yang mengagetkan saya: kaki kanan saya ada di atas meja di depan saya! Diam-diam saya turunkan kakiku , gres saya ribut-ribut sedikit semoga mahasiswa saya terbangun juga. Hanya ada satu mahasiswa yang ternyata tidak tertidur dan menyaksikannya.
Saya selalu sadar bakal ancaman itu. Pernah Alvin Toffler , futurolog termasyhur itu , berceramah di Gedung Manggala Wanabakti. Yang hadir barangkali seribu orang. Saya duduk agak di belakang. Di samping saya duduk Wiratmo Soekito (almarhum). Begitu Toffler mulai omong , saya tertidur pulas. Setelah kira-kira 15 menit saya terbangun , merasa segar , dan mulai mendengarkan Toffler dengan perhatian. Lima menit kemudian Pak Wiratmo-lah yang tertidur. Beda dengan saya , dia mendengkur , cukup keras pula. Orang pada mulai memandang ke arah saya. Betapa gembira hatiku duduk tegak dengan mata terbuka.
Waktu saya ikut penataran P4 , angkatan nasional ke-8 di Gedung BP7 , Pejambon , saya didudukkan di baris kedua dari depan. Ngeri sekali! Kalau saya ngantuk sedikit saja , mesti eksklusif ketahuan. Akhirnya saya mengatasi problem dengan bekerja keras. Saya menggunakan ceramah yang diberikan untuk mempelajari setrik intensif seluruh bahan saya. Kaprikornus , saya baca teks-teks P4 , Undang-Undang Dasar 1945 , dan GBHN. Saya garis bawahi , saya beri warna. Pokoknya sibuk sekali. Saya tidak jadi mengantuk.
Satu kali penceramah , seorang mantan dirjen yang suka banyak melucu , menjadi gelisah melihat saya. Rupa-rupanya ia takut bahwa saya mencatat setiap sabda dari mulutnya kemudian melaporkannya kepada pemimpinnya. Akhirnya dia tak tahan , menyapa saya , ”Pak Frans , tak perlu segala kata saya dicatat.” Saya jawab , ”Enggak apa-apa , Pak.”
Sekarang pun saya selalu harus berjuang. Nah , bayangkan , tahun kemudian Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengadakan pertemuan tahunan di Puspiptek , Serpong. Bapak Presiden bakal menawarkan ceramah penting! Saya gelisah. Dengan rambut putihku tak mungkin saya tak diperhatikan. Jangan-jangan dia tersinggung jikalau kepala saya angguk-angguk , saya lantas malah ditegur beliau.
Karena program itu di aula besar , saya dapat mencari daerah duduk jauh di pojok belakang (dan dengan tegas menolak usul rekan-rekan akademisyen untuk duduk bersama mereka). Amanlah saya. Ternyata waktu Bapak Presiden berpidato , saya malah tidak ngantuk!
Berhadapan dengan seorang wanita yang berselingkuh , Yesus pernah ditanya apakah wanita itu boleh dirajam sesuai dengan aturan Taurat. Jawaban Yesus , ”Barangsiapa tidak berdosa , hendaklah ia yang pertama melemparkan batu.” Tak ada yang berani. Saya suka dengan ucapan ini.
Ada ayat lain dari Mazmur yang menghibur saya: ”Tuhan menawarkan (yang baik) kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.”
Franz Magnis-Suseno , Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ngantuk!"