Ahmad Syafii Maarif
Apa yang disebut Pawai Ikada sehari sebelum pemilihan yang diikuti oleh tokoh-tokoh partai pendukung Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli tidak ada pengaruhnya dalam raihan suara. Namun , itulah demokrasi dalam masa peralihan yang sedang berada dalam tahap kritikal. Rakyat Ibu Kota khususnya ingin bukti ketimbang kesepakatan sekalipun pembuktian itu masih harus dinantikan pada waktu-waktu yang bakal datang.
Fenomenal dan Mengejutkan
Kemenangan di atas cukup fenomenal dan mengejutkan banyak pihak. Saya sendiri tidak terkejut lantaran Jakarta telah usang terpasung dalam suasana sumpek —sesak napas dan sunyi dari kegairahan —yang memang merindukan suasana gres yang lebih segar.
Ada empat persoalan utama penyebab mengapa warga Jakarta sesak napas: macet , banjir , tajamnya kesenjangan sosial , dan kumuh. Itu sebabnya orang selalu mengenang Ali Sadikin lantaran banyak sekali terobosan dan perubahan positif yang telah dilakukan dengan penuh keberanian sebagai Gubernur DKI selama dua periode pada tahun 1970-an. Apakah Jokowi bakal berkembang menjadi menjadi Ali Sadikin kedua , mari sama-sama kita tunggu peran selanjutnya. Jika pasangan tersebut berhasil , kepercayaan kepada kepemimpinan sipil sanggup meningkat.
Karena sudah diatur sebelumnya , pada hari pemilihan gubernur DKI tersebut saya berkunjung ke Jakarta untuk menemui Jusuf Kalla (JK) di kediamannya. Kami berbincang-bincang wacana masalah-masalah bangsa dan negara , sesuatu yang biasa saya lakukan pada saat-saat tertentu. Tentang Jokowi , sekalipun hanya disinggung sambil kemudian , ternyata JK-lah yang meyakinkan Megawati Soekarnoputri Agar mengusung kader PDI-P itu untuk maju dalam pemilihan gubernur DKI.
Pertanyaan Mega kepada JK adalah: ”Apakah Pak JK sanggup menjamin Jokowi bakal menang?” Dijawab: ”Tidak sanggup menjamin , tetapi saya yakin ia bakal menang.” Dengan tanggapan ini , maka muluslah jalan bagi Jokowi-Basuki untuk bertanding dalam pilkada yang menerima sorotan publik dari dalam dan dari luar negeri itu.
Pada ketika parpol-parpol Islam sedang banyak disoroti publik lantaran nyaris kehilangan pamor , beberapa parpol besar nasional lainnya yang bahwasanya tidak bebas dari aroma korupsi , toh berdasarkan banyak sekali survei masih punya pendukung yang signifikan. Inilah di antara dilema sistem demokrasi Indonesia , yang tingkat peradabannya masih di bawah standar , lantaran sebagian besar politisi kita mengidap virus tuna-idealisme. Namun , kita percaya kondisi pengap semacam itu niscaya pada saatnya bakal menemukan jalan keluar untuk perbaikan.
Sulit kita temukan kini politisi yang sanggup diajak berbitrik dari hati ke hati wacana keindonesiaan yang masih labil , dan sangat merindukan munculnya para negarawan visioner yang menyayangi bangsa ini setrik nrimo dan mendalam. Transaksi politik untuk menggarong APBN/APBD dan BUMN/BUMD sudah menjadi sikap harian sebagian politisi kita. Tak terkecuali mereka yang berasal dari parpol Islam. Dalam kondisi semacam ini , tuan dan puan tak perlu kaget mengapa parpol Islam itu semakin tak diminati. Di atas itu semua , belum ada bayangan dari rahim parpol Islam bakal muncul calon negarawan yang memberi keinginan bagi masa depan bangsa ini.
Namun , orang jangan salah raba bahwa rakyat Indonesia benci agama. Sama sekali tidak. Setrik belakang layar , di kalangan terbatas tengah berjalan proses Islamisasi kualitatif yang membesarkan hati.
Pengalaman saya baru-baru ini pada sebuah kampus yang biasa dicap sekuler , justru di sana telah muncul para doktor dan sarjana yang berhasil menangkap api Islam; ungkapan yang dulu dipopulerkan Bung Karno. Mereka sangat risau dan geram menyaksikan kultur kumuh yang terpampang terperinci di panggung politik dan ekonomi. Mereka umumnya belum tentu berasal dari kultur santri , tetapi telah menangkap dengan cerdas substansi anutan Islam yang pro-keadilan dan kebersamaan , sesuatu yang langka terlihat dalam sikap parpol Islam. Fenomena positif itu sanggup ditemukan di banyak sekali institusi , kampus , dan pusat-pusat industri.
Demokrasi yang semestinya bertujuan menyejahterakan rakyat banyak , yang berlaku justru kebalikannya. Para elite yang menguasai panggung demokrasi pada tingkat kini terlihat lebih terpasung oleh tarikan pragmatisme sesaat. Politik dijadikan lahan pengais rezeki. Alangkah hinanya! Namun , itulah fakta keras yang sedang berlaku.
Bahasa agama yang sering dipakai parpol Islam menyerupai telah kehabisan tenaga untuk meyakinkan rakyat Agar tetap mendukung partai itu. Akan halnya sekitar 49 persen rakyat Indonesia , kalau parameter penghasilan 2 dollar AS per hari per kepala dipakai yang masih berada dalam kategori miskin , tidak sanggup perhatian para politisi. Dengan demikian , tak kurang 120 juta dari hampir 250 juta total rakyat Indonesia masih miskin. Angka 49 persen ini saya dapatkan dari HS Dillon , Staf Khusus Presiden untuk Pengentasan Kemiskinan , pada 16 Oktober 2012.
Keberagamaan yang Otentik
Dalam bacaan saya , hampir tidak ada parpol mana pun yang setrik sungguh- sungguh mencari solusi untuk menghalau kemiskinan. Semestinya parpol Islam memahami Islam yakni agama pro-orang miskin , tetapi pada waktu yang sama anti-kemiskinan. Sekiranya mereka memahami doktrin ini dan berupaya untuk mewujudkannya dengan penuh kesungguhan dan ketulusan , maka ada keinginan bahasa agama bakal berwibawa kembali dan parpol Islam itu tidak perlu bernasib menyerupai kini ini.
Pendekatan spiritual inilah yang sepi dari peran mereka. Godaan kekuasaan dan kesenangan duniawi telah menutup mata batin mereka untuk beragama setrik otentik. Akhirnya , siapa tahu Jokowi-Basuki yang tak hebat menggunakan bahasa agama—tetapi eksklusif melakukan pesan inti agama untuk membela mereka yang telantar dan tergusur—bakal jadi fenomena gres perpolitikan Indonesia. Selamat bertugas Bung Jokowi-Bung Basuki. Harapan rakyat kepada Anda berdua sangatlah besar. Jangan kecewakan mereka.
Ahmad Syafii Maarif , Pendiri Maarif Institute
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Dikala Bahasa Agama Rontok"