Latest News

Kumpulan Opini Kompas: Menimbang Calon Presiden

Salahuddin Wahid

Menarik menyimak langkah Partai Golkar yang sigap dan sudah mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2014 , dua tahun sebelum pilpres itu sendiri berlangsung.

Pada 2004 , Wiranto dan Salahuddin Wahid mendeklarasikan diri tak hingga dua bulan sebelum pilpres berlangsung. Deklarasi Jusuf Kalla dan Wiranto (2009) juga demikian. Hal lain yang membedakan , deklarasi ketika ini hanya menampilkan capres , sedangkan deklarasi 2004 dan 2009 sudah menampilkan dua nama: capres dan cawapres. Cawapres Partai Golkar 2014 bakal dipilih dari sejumlah nama , yaitu Sultan Hamengku Buwono X , Jenderal Pramono Edhie , Ibas , Mahfud MD , Khofifah. Deklarasi ketika ini juga lebih semarak dibandingkan 2004 dan 2009.

Tentu masuk akal jika timbul pertanyaan mengapa deklarasi capres Partai Golkar itu harus dilakukan tergesa-gesa , menyerupai ada sesuatu yang dikejar , padahal pilpres masih dua tahun lagi. Apa sesuatu yang dikejar itu? Jawaban yang masuk logika ialah memberi waktu yang amat panjang bagi sang capres untuk memperkenalkan diri ke seluruh pelosok Indonesia. Jawaban yang tersembunyi (mungkin): Agar posisi capres kokoh dan mustahil diganti tokoh lain.

Belajar dari Pilpres AS

Pemilihan presiden setrik eksklusif di Indonesia gres pada 2004 dan 2009. Keduanya tak banyak memberi gosip dan pelajaran. Pilpres di AS yang sudah diadakan puluhan kali yaitu sumber gosip dan sumber ilham yang tak pernah kering. Tak ada salahnya mencar ilmu dan mengacu pada pilpres AS , tetapi tentu diharapkan kejelian , ketelitian , dan kecerdasan dalam mengambil pelajaran.

Salah satu yang sudah kita tiru ialah membuat survei untuk mengetahui kecenderungan pilihan masyarakat. Pada 2004 , penggunaan survei yang mengacu kepada metode Gallup itu belum sebanyak sekarang. Ada dugaan (semoga tidak benar) bahwa survei yang dilakukan di sini telah dicemari oleh intervensi yang dikhawatirkan bakal merusak dapat dipercaya survei yang diselenggarakan setrik benar dan betul-betul tidak memihak.

Hal lain yang juga sudah ditiru ialah penggunaan banyak sekali atribut serta iklan dan juga atrik yang diharapkan sanggup mendongkrak popularitas dan tingkat keterpilihan sang calon , menyerupai debat calon.

Namun , kita lupa mempelajari gimana mengumpulkan dana dari masyarakat untuk mendukung calon yang betul-betul baik tetapi tak punya cukup uang untuk membiayai kampanye. Selain itu , gimana mendidik dan membiasakan pemilih untuk tak menentukan calon menurut pemberian uang kepada pemilih.

Tokoh atau Partai?

Dalam sejarah Indonesia , pemimpinlah yang lebih menonjol daripada partai , kecuali pada kala demokrasi liberal. Pada kala itu , yang menonjol yaitu ketua dan tokoh partai , menyerupai Ali Sastroamidjojo , Muhammad Natsir , dan Burhanuddin Harahap. Tanpa partai , tokoh-tokoh itu tidak punya efek besar. Pak Harto bukan ketua partai tetapi menguasai Golkar. Gus Dur lebih besar daripada PKB. PDI Perjuangan tanpa Megawati bakal mengalami kemerosotan. Jelas bahwa Partai Demokrat jadi partai yang terbanyak pemilihnya alasannya yaitu nama besar Susilo Bambang Yudhoyono. Prabowo Subianto juga lebih besar daripada Partai Gerindra dan Wiranto lebih besar daripada Hanura.

Partai politik di Indonesia ketika ini yang betul-betul mengandalkan nama besar dan organisasi partai ialah Partai Golkar dan PKS. Setrik kebetulan atau setrik otomatis (?) , selama ini kedua partai itu tidak punya tokoh yang layak jual untuk pemilihan presiden. Menyadari kenyataan itu—atau alasannya yaitu ingin mewujudkan proses pemilihan capres yang bisa menghasilkan calon yang memenuhi syarat dan memperoleh pertolongan rakyat—Akbar Tandjung menyelenggarakan konvensi untuk menentukan capres Partai Golkar pada 2004. Dalam putaran kedua , Wiranto mengalahkan Akbar Tandjung sehingga terpilih sebagai capres Partai Golkar.

Konvensi itu tak sama dengan konvensi capres yang diadakan di AS. Konvensi capres di AS bersifat terbuka dan melibatkan masyarakat , sedangkan konvensi Partai Golkar bersifat tertutup , hanya melibatkan pengurus partai. Kita tentu masih ingat ucapan Cak Nur yang mengikuti konvensi tersebut bahwa konvensi Partai Golkar itu lebih mengutamakan ”gizi” (uang) daripada visi dan misi.

Pada 2009 , Partai Golkar tidak menyelenggarakan konvensi. Jusuf Kalla masih berharap jadi pasangan SBY yang diyakini oleh banyak pihak bakal terpilih lagi. Karena SBY cenderung tidak menentukan JK sebagai pasangan , maka JK maju sebagai capres. Saat itu juga ada pihak di dalam Partai Golkar yang mengusulkan konvensi. Namun tidak tersedia cukup waktu untuk menyelenggarakan konvensi , sehabis berpengaruh aba-aba dari SBY bahwa JK tidak bakal dipilih menjadi cawapres.

Peluang Aburizal

Partai Golkar yaitu partai yang paling banyak pengalaman dibandingkan partai lain. Tradisi dan budaya organisasinya cukup kuat. Setelah berhasil mengatasi situasi kritis di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung pasca-Orde Baru tumbang , Partai Golkar setrik perlahan mengokohkan diri sebagai salah satu partai terkuat.

Adapun yang dibutuhkan Golkar ialah ketua umum yang punya uang sangat banyak , jaringan luas , dan motivasi kuat. Kita masih ingat , pada Munas Partai Golkar 2010 terjadi pertarungan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie (Ical). Sebagai ketua umum Golkar , masuk akal jika Ical ingin menjadi capres dari partainya. Malah tidak masuk akal jika Ical tidak punya ambisi itu. Sejak terpilih jadi Ketua Umum Partai Golkar , Ical melaksanakan kunjungan ke sejumlah tempat untuk bisa bertemu dengan sebanyak mungkin warga masyarakat.

Gambarnya terpampang di seluruh pelosok Indonesia. Semua survei memberi impian bahwa Golkar bakal mengungguli partai- partai lain. Satu-dua survei memberi hasil bahwa tingkat keterpilihan Ical juga membaik sehingga Rapimnas Partai Gokar tak ragu mendeklarasikan Ical sebagai capres. Terlihat terperinci bahwa banyak pihak di luar dan di dalam Golkar merasa belum sreg dengan deklarasi itu. Akan lebih baik apabila deklarasi itu dilakukan pada 2013.

Kalau berhasil memperoleh cawapres yang bisa mendongkrak perolehan bunyi , walaupun amat sulit , bukan tak mungkin Ical bisa menang. Sungguh ini prestasi luar biasa bagi tim yang menyusun taktik pemenangan dan juga tim yang mengeksekusi taktik tersebut. Kondisi yang memberi laba kepada Ical ialah bahwa tak adanya tokoh potensial di dalam dua partai yang diduga bisa mengajukan capres , sedangkan tokoh-tokoh yang potensial , menyerupai Prabowo , JK , Mahfud MD , dan Dahlan Iskan , belum tentu bakal ada partai yang mencalonkan.

Kondisi yang ideal ialah jika sejumlah partai menengah mau bekerja sama untuk mencari tokoh yang layak jual dan punya kemampuan dan abjad berpengaruh , kemudian dicalonkan bersama oleh partai-partai tersebut. Namun , kita tahu bahwa menggalang kolaborasi itu sungguh tidak mudah. Diperlukan kelompok di luar partai yang mengambil prakarsa dan mendorong kolaborasi partai menengah itu.

Salahuddin Wahid , Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang

0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Menimbang Calon Presiden"

Total Pageviews