Anis Hidayah
Kalau hingga hari ini masih ada yang berpikir bangsa Indonesia telah berada pada trek yang benar sebagai negara maju dan tak mungkin tersesat ke arah negara yang gagal , mungkin itu hanya para pemimpi di siang hari.
Begitu juga kalau masih ada yang berbuih-buih mulutnya menyampaikan pemerintah telah melaksanakan pelindungan yang optimal terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri , itu mungkin alasannya yakni mereka memang tak hendak berdiri dari tidur panjangnya. Tak usah dibangunkan , sudah terlalu boros bangsa ini membuang energi untuk membuka lebar-lebar mata mereka yang pejam permanen.
Tak asing risikonya saat TKI dilecehkan , mengalami banyak sekali macam kekerasan hingga nyawa dan kehormatan sekalipun tak bisa dipertahankan , tak pernah tebersit bahwa mereka itu saudara kita , sebangsa dan setanah air. Berasal dan memijak bumi yang sama , bumi pertiwi yang sama-sama kita cintai.
Beberapa hari terakhir , masyarakat Indonesia terenyak dengan terkuaknya iklan yang tersebar di Malaysia dengan judul ”Indonesian Maids Now on Sale”. Sungguh sebuah iklan pelecehan dan penghinaan tak hanya kepada bangsa Indonesia , tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan pada kala saat perbudakan terhadap insan menjadi musuh bersama dalam kehidupan ini.
Diobral dengan diskon 40 persen , siapa saja di Malaysia bisa mendapat pekerja rumah tangga (PRT) migran Indonesia. Namun , ironisnya , tidak semua warga Indonesia yang terkejut dengan iklan ini. Dengan prosedur penempatan dan pemberian TKI yang karut-marut , mestinya sudah sanggup diprediksi gejala-gejala bisnis semacam itu di Malaysia , khususnya selama moratorium.
Terlebih , perspektif TKI sebagai komoditas untuk menghasilkan devisa setrik instan tak kunjung berubah di kalangan elite pemerintah ini.
Munculnya iklan yang mengobral TKI di Malaysia tolong-menolong hanya puncak dari fenomena gunung es dari paradigma komodifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang memperlihatkan bobot bisnis penempatan TKI lebih mayoritas daripada perlindungannya. Besarnya tugas swasta (Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta/PPTKIS) dalam pengiriman TKI yang dilegalisasi dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 telah memperkuat sketsa migrasi dengan biaya tinggi yang mengakibatkan TKI terjerat utang setrik sistematis.
Situasi ini setrik perlahan menggeser dimensi HAM dalam penempatan buruh migran sehingga penempatan TKI menjadi industri dan kerajaan bisnis. Sementara , Pemerintah Indonesia cenderung memagarkan praktik tersebut dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum.
Untuk itu , perilaku dan langkah cepat Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa yang memprotes keras iklan tersebut kepada Menlu Malaysia patut diapresiasi. Begitu juga langkah tanggap Pemerintah Indonesia yang telah mengirimkan nota protes diplomatik kepada Pemerintah Malaysia.
Sindikat ”Trafficking”
Menganggap iklan ini hanya sebagai kreativitas orang-orang iseng dan berujung pada kedai potong rambut sungguh sangat memprihatinkan dan patut disayangkan. Apalagi itu diucapkan oleh seorang menteri yang semestinya berada pada garda terdepan untuk melindungi TKI. Selugu inikah bangsa ini berhadapan dengan bandit dan sindikat trafficking yang menghalalkan banyak sekali macam trik untuk mendapat keuntungan? Atau , jangan-jangan memang ada yang tak ingin sindikat perdagangan PRT migran Indonesia di Malaysia ini benar-benar terbongkar.
Kecurigaan ini masuk akal alasannya yakni hal ini sangat berkaitan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Sejak 29 Juni 2009 , Pemerintah Indonesia memutuskan kebijakan moratorium ke Malaysia , hingga moratorium dicabut pada Desember 2011 , dan penempatan PRT migran di Malaysia dibuka pada Maret 2012.
Sesungguhnya praktik penempatan tidak berhenti sama sekali. Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa semasa moratorium , sekitar 22.000 permit kerja untuk PRT Indonesia diterbitkan oleh Malaysia. Dan pasca-moratorium , bulan Juli hingga September 2012 , pemerintah mengaku hanya menempatkan 64 PRT migran Indonesia di Malaysia , tetapi nyatanya sekitar 14.000 permit kerja dan Job Performance Visa juga diterbitkan oleh Pemerintah Malaysia.
Sekadar citra , biaya penempatan (cost structure) PRT migran Indonesia di Malaysia yakni 12.000 ringgit (sekitar Rp 38.400.000) yang harus dibayar oleh majikan di Malaysia dan 3.850 ringgit (sekitar Rp 12.320.000) yang harus dibayar PRT migran Indonesia dengan trik potong honor selama 7 bulan. Hal ini berbanding terbalik dengan honor PRT migran di Malaysia yang hanya 550 ringgit atau sekitar Rp 1.760.000.
Oleh alasannya yakni itu , dengan menganggap fiktif iklan ini , sama saja dengan menutup mata terhadap kejahatan trafficking yang jelas- terang berada di depan mata. Atau memang sengaja menutup perkara ini semoga borok dan kobobrokan yang terjadi selama moratorium tak terungkap sehingga mereka sanggup terus melanjutkan mimpi-mimpinya di atas singgasana.
Bertepuk Sebelah Tangan
Tiga tahun moratorium yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia tak ditanggapi setrik serius oleh Pemerintah Malaysia. Betapa fakta di lapangan yang memperlihatkan Pemerintah Malaysia senantiasa mengeluarkan permit kerja kepada PRT migran asal Indonesia sungguh sangat melecehkan kewibawaan bangsa ini. Posisi setara antara Pemerintah Malaysia dan Indonesia yang selalu didengungkan para pemimpi itu tampak hanya bualan dan imajinasi fiktif.
Faktanya , Pemerintah Indonesia hanya bertepuk sebelah tangan selama moratorium. Oleh alasannya yakni itu , masuk akal kiranya kalau moratorium selama ini tidak banyak meninggalkan jejak yang berMakna bagi perbaikan pemberian untuk TKI. Nota kesepahaman (MOU) yang direvisi dengan dua klausul gres , yakni paspor dipegang oleh TKI dan adanya hari libur bagi PRT migran , setrik normatif menjanjikan masa depan gres bagi buruh migran. Namun , hal ini belum sanggup menjamin pemberian mereka selama komodifikasi TKI terus dilanggengkan.
Akhirnya , sudah terlalu sering bangsa Indonesia disakiti , baik oleh perilaku maupun kebijakan Pemerintah Malaysia kepada para TKI di sana. Bukan diam-diam lagi bila banyak TKI yang menjadi korban kekerasan di Malaysia , baik oleh majikan maupun sindikat trafficking yang menggurita hampir di setiap sel dalam institusi yang legal dan ilegal. Bahkan , tidak sedikit para TKI yang tewas dan menjadi korban kesewenang-wenangan polisi di Malaysia.
Untuk itu , bila bangsa ini , dimotori oleh presiden sebagai kepala negara , tak mau mengambil perilaku tegas dan menganggap remeh pelecehan terhadap harkat dan martabat PRT migran Indonesia di Malaysia ini , segimana yang dikatakan oleh pembantunya , sungguh kita sedang diajak bermimpi.
Anis Hidayah , Direktur Eksekutif Migrant Care
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Mimpi Pemberian Tki"