Sri Palupi
Sastrotomo yakni bapak kandung Nyai Ontosoroh , tokoh utama dalam buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Sebagai bapak , Sastrotomo rela menjual anak gadisnya kepada pejabat kolonial Belanda demi kekayaan dan jabatan sebagai juru bayar perkebunan.
Perilaku menyerupai Sastrotomo banyak kita jumpai di kalangan pejabat dan birokrat RI , pengurus partai , pemilik dan pengelola korporasi , juga anggota DPR. Tidak heran jikalau di sektor migrasi tenaga kerja terdapat jutaan warga RI yang diperdagangkan dengan modus penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri. Sebab , Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mengatur penempatan dan proteksi TKI di luar negeri juga melegalkan perdagangan orang.
UU No 39/2004 itu sekarang tengah direvisi DPR. Pada 5 Juli 2012 , dewan perwakilan rakyat mengesahkan RUU Perubahan atas UU No 39/2004 menjadi RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN) dan sekaligus mengesahkan RUU tersebut untuk dibahas lebih lanjut.
Bila membaca naskah akademik , judul , dan konsiderans RUU PPILN yang dihasilkan dewan perwakilan rakyat , serasa ada impian dewan perwakilan rakyat benar-benar berkomitmen memperbaiki nasib TKI. Namun , impian itu sirna sehabis membaca substansi RUU PPILN. Muncul dugaan , ada ”Sastrotomo” di DPR.
Kehilangan Orientasi
Substansi RUU PPILN merefleksikan tarik-menarik kepentingan banyak pihak yang terlibat pribadi atau tidak pribadi dalam bisnis penempatan TKI. Tarik- menarik kepentingan ini sedemikian terangnya sampaisampai dewan perwakilan rakyat kehilangan orientasi dan tidak terang lagi kepentingan siapa yang hendak dilindungi. Ini terlihat dari beberapa indikasi.
Pertama , substansi RUU PPILN tidak nyambung dengan substansi naskah akademik yang seharusnya menjadi teladan dalam merumuskan pasal-pasal perlindungan. Substansi naskah akademik RUU PPILN menunjukkan citra yang cukup elok terkait arah solusi terhadap persoalan lemahnya proteksi TKI.
Kalau saja naskah akademik ini dijadikan teladan , ada impian revisi UU No 39/2004 bakal bisa mengatasi karut-marut pengurusan migrasi TKI. Sayangnya , perumusan pasal- pasal RUU PPILN terlepas dari naskah akademiknya.
Kedua , klarifikasi umum RUU PPILN menegaskan bahwa kiprah proteksi pekerja Indonesia di luar negeri diserahkan kepada pemerintah , baik sentra maupun daerah. Dimulai dari masa prapenempatan , penempatan , dan pascapenempatan. Pihak swasta hanya diberi kiprah sebagai pelaksana penempatan , kecuali untuk pekerja Indonesia di luar negeri sektor domestik. Namun , anehnya , tidak satu pun pasal dalam RUU PPILN yang mengatur perihal penempatan pekerja Indonesia di luar negeri sektor domestik. Padahal , lebih banyak didominasi TKI bekerja di sektor domestik.
Ketiga , RUU PPILN memperluas kiprah dan kewenangan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dalam proteksi TKI , mulai dari tingkat kabupaten hingga di luar negeri. Namun , ekspansi kiprah ini tidak disertai pembagian kiprah dan kewenangan yang terang antarlembaga.
Maknanya , dewan perwakilan rakyat bukan hanya melanggengkan konflik antara BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja , melainkan juga memperluas konflik. BNP2TKI bukan hanya bakal berkonflik dengan Kementerian Tenaga Kerja , tetapi juga dengan pemerintah kawasan dan Kementerian Luar Negeri. Perlindungan efektif , dengan demikian , bakal sulit terwujud. Apalagi RUU PPILN juga tidak mengatur larangan bagi pejabat publik di pemerintah dan dewan perwakilan rakyat untuk terlibat pribadi atau tidak pribadi dalam bisnis penempatan TKI.
Keempat , cukup banyak pasal yang rancu dan tidak terang rumusannya sehingga menimbulkan salah atau multitafsir. Salah satunya Pasal 23 Ayat (4) , yang menyatakan: PPILN dalam membuat perjanjian penempatan pekerja Indonesia di luar negeri wajib mempersyaratkan pengguna lolos verifikasi oleh perwakilan Republik Indonesia di negara penerima. Pasal ini bisa ditafsirkan bahwa pekerja sudah menandatangani perjanjian kerja sebelum ada verifikasi terhadap pengguna. Bila demikian , di mana letak proteksi bagi kepentingan calon TKI?
Kelima , struktur dan rumusan pasal-pasal proteksi dalam RUU PPILN cenderung menyembunyikan subyek penanggung jawab. Banyak hak TKI diakui , tetapi tidak terang siapa berkewajiban memenuhinya. Ada atrik tetapi tidak terang siapa penanggung jawabnya. Misalnya , dalam hal perekrutan calon TKI , RUU PPILN hanya menyebutkan bahwa pemerintah kawasan bertanggung jawab atas registrasi dan pendataan TKI yang lolos dalam perekrutan dan seleksi. Lalu , siapa yang bertanggung jawab dalam perekrutan calon TKI?
Alergi DPR
RUU PPILN mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Akibatnya , hal-hal fundamental yang menjadi prasyarat terwujudnya proteksi efektif bagi TKI dan keluarganya justru diabaikan. Beberapa hal fundamental tersebut di antaranya perekrutan , pendidikan , sistem pengawasan , regulasi terhadap perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) , penanganan kasus , dan kiprah serta masyarakat.
Dalam hal perekrutan , RUU PPILN tidak tegas mengatur siapa penanggungjawabnya. Bila perekrutan tetap diserahkan kepada forum bisnis , sulit dibutuhkan bahwa RUU PPILN bakal mengubah keadaan. Perekrutan ilegal dan perdagangan orang bakal terus terjadi. Apalagi tidak ada perbaikan dalam hal regulasi PJTKI menyangkut kewarganegaraan pemiliknya , kapasitas dan integritas pengelolanya , dan transparansi pengawasannya.
Dalam RUU PPILN , pendidikan belum ditempatkan sebagai komponen penting dalam proteksi TKI. Pasal perihal pendidikan diselipkan di antara pasal-pasal yang lain. Pendidikan juga masih diserahkan kepada forum bisnis dan lokasi pelaksanaannya masih jauh dari domisili TKI di pelosok desa. Dapat dipastikan , biaya pendidikan bakal tetap tinggi dan hak TKI untuk mendapat pendidikan berkualitas tetap tidak dijamin.
Salah satu kelemahan sistem proteksi TKI selama ini tidak adanya pengawasan efektif terhadap proteksi TKI , yang melibatkan masyarakat. Ironisnya , dalam penyusunan RUU PPILN dewan perwakilan rakyat justru alergi terhadap kiprah serta masyarakat.
DPR menggusur habis kiprah serta masyarakat yang sangat minim diakui dalam UU No 39/ 2004. Tidak ada prosedur komplain bagi masyarakat yang dilanggar haknya , tidak ada prosedur penanganan kasus dan santunan aturan bagi TKI korban pelanggaran HAM , dan tak diakui hak masyarakat untuk mengajukan somasi terhadap pihak-pihak yang merugikan TKI.
Akhir kata , ironis bahwa dewan perwakilan rakyat yang dipilih oleh rakyat justru alergi terhadap kiprah serta rakyat. Ini menandakan ada ”Sastrotomo” di badan dewan perwakilan rakyat yang siap mempertaruhkan jutaan nyawa TKI. Bisa dipahami jikalau pembahasan RUU PPILN bakal sangat alot. Sebab , ”Sastrotomo” di badan dewan perwakilan rakyat , partai , PJTKI , dan pemerintah tidak bakal rela kepentingannya diganggu.
Sri Palupi , Ketua Institute for Ecosoc Rights
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Ada “Sasrotomo” Di Dpr?"