Radhar Panca Dahana
Mungkin kita sanggup memafhumi bahwa apa dan gimana pun lisan demokratis dari seseorang atau kelompok seharusnya tidak berpotensi destruktif. Maknanya , apa pun yang disampaikan dihentikan merusak atau menghancurkan yang sudah dicapai dan dibangun selama ini.
Capaian itu sanggup saja bersifat moral , material , perangkat lunak maupun keras. Bila tidak , kita bukan hanya harus bertanggung jawab kepada para pendahulu yang telah berkorban membentuk negara , melainkan juga kepada para penerus kita yang harus menanggung perbuatan kita.
Oleh alasannya yaitu itu , sebuah sistem dan praktik demokrasi harus berlandaskan nilai yang kita sebut budaya. Budaya yang sanggup saja berasal dari praktik-praktik demokratis di banyak sekali negara maupun praktik-praktik bermasyarakat yang sudah dijalankan bebuyutan di seantero negeri. Justru yang terakhir ini lebih baik alasannya yaitu memiliki riwayat jauh lebih panjang dan rakyat memahaminya.
Praktik demokrasi yang dilandasi oleh osmosa kultural semacam ini bukanlah ”pengkhianatan” terhadap dasar-dasar demokrasi teoretis yang kita kenal selama ini. Bukankah kenyataan memperlihatkan bahwa di mana pun praktik demokrasi selalu ditandai dengan penyesuaian-penyesuaian. Dengan demikian , klaim demokrasi sebetulnya yaitu subyektif dan variatif.
Contoh-contoh di beberapa negara menerangkan itu. Di Jepang , India , Amerika Serikat , Perancis , ataupun Inggris , implementasi demokrasi menjadi dasar nilai dan sistem bernegara bergradasi setrik signifikan. Apalagi jikalau kita menyebut China , Singapura , Hongkong , atau negara otoritarian menyerupai Korea Utara dan Kuba dengan klaim (demokratis) serupa.
Demokrasi Maritim
Dalam perikehidupan bangsa ini , sesungguhnya belum pernah setrik nasional kita bersepakat wacana budaya demokrasi macam apa yang menjadi teladan semoga demokrasi tidak justru menjadi bahaya bagi hidup berbangsa dan bernegara kita.
Sebutlah contohnya dasar nilai dari one man , one vote , one value. Betapa pun telah menjadi norma global , penerapannya setrik lokal di negeri ini perlu diintegrasikan dengan realitas sosial dan adat yang telah hidup ribuan tahun.
Integrasi ini bukan saja menghindarkan (praktik) demokrasi dari konflik yang tidak perlu dengan rakyat , tetapi juga mendorong pertemuan dua kutub adab—modern dan tradisi—untuk menghasilkan solusi yang lebih komprehensif dan positif. Sistem demokrasi yang kita tegakkan tidak hanya mengacu landasan teoretis dan filosofi oksidental yang menjebak kita dalam demokrasi formalistis , melainkan juga mempertimbangkan budaya bangsa-bangsa kita , termasuk memperjuangkan hak dan harkat rakyat.
Maka kita mesti jernih mengusut kembali apakah dasar-dasar demokrasi itu berakar dalam sejarah kebudayaan kita. Apakah kebebasan individu atau agresi demonstrasi juga kebutuhan dasar bangsa ini? Jika ya , gimana sebetulnya lisan dari dua kebutuhan itu dalam praktik bermasyarakat atau bernegara kita?
Sebagai negeri laut , bangsa ini sesungguhnya memiliki dasar-dasar abjad dari takdir geologis dan geografisnya. Dengan kota-kota bandarnya , bangsa ini telah membuatkan budaya yang terbuka. Kota bandar yaitu semacam melting pot yang memungkinkan terjadinya perjumpaan bahkan akulturasi kebudayaan dari dalam maupun luar.
Bisa dikatakan bandar-bandar negeri laut sebetulnya yaitu sumber paling awal dari demokrasi. Negeri laut pasti melahirkan insan dan masyarakat yang berpikiran terbuka , egaliter , multikultural , dan menawarkan penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan insan (individu). Jika di Eropa Barat dan Tengah demokrasi yaitu hasil dari kerja rasional , di negeri laut menyerupai Indonesia semua nilai dasar demokrasi di atas yaitu sebuah keniscayaan alamiah.
Menuju Demokrasi
Realitas semacam itu kemudian berkembang dengan trik yang unik di masing-masing kesatuan etnik di seluruh Nusantara. Budaya pantai dan pedalaman saling mengisi dan memengaruhi sehingga membuat sebuah adab—dibuktikan oleh temuan-temuan arkeologis terbaru—yang memiliki tingkat kedewasaan tidak kalah dengan peradaban bangsa-bangsa purba lainnya.
Maka , jikalau kita cermati adat demokrasi kita sendiri , kita sanggup mengerti dan menilai apakah beberapa praktik demokrasi kita belakangan ini telah sesuai dengan apa yang telah dibentuk , diwarisi , dan diajarkan oleh para pendahulu dan leluhur kita sendiri. Sungguh tidak bijaksana jikalau hanya dengan alasan kemodernan dan rasionalisme logosentrik , kita menafikan kenyataan adat dan sopan santun demokrasi kita dan merasa semua itu sudah lampau. Lalu kita mengambil buku-buku di perpustakaan dan mengikuti tawaran di dalamnya. Padahal , itu hasil aliran gres yang sebagian justru bersumber dari praktik budaya maritim.
Segimana semua wangsit absurd yang tiba ke negeri ini semenjak dulu—kesenian , bangunan , gaya hidup , trik berpolitik , bahkan agama—demokrasi modern harus mengharmonisasi diri dengan kenyataan lokal. Semua ungkapan atau lisan dari hak-hak individual , komunal , hingga publik nasional dilakukan lewat sebuah sopan santun yang santun , tidak bergairah , dan tidak destruktif terhadap kepentingan dan milik publik. Kebebasan lisan , bahkan dalam kesenian , bukanlah sebuah cek kosong yang sanggup seenaknya diisi nafsu dan insting negatif manusia.
Karena itu , seberat apa pun–katakanlah—kita tidak oke terhadap kebijakan pemerintah , segimana benci dan dendamnya kita kepada musuh kita contohnya , bukanlah izin untuk melaksanakan penghinaan dan kekerasan , perusakan , apalagi pengancaman jiwa.
Demokrasi sebaiknya yaitu alat dan alasan kita untuk menjadi insan dan bangsa beradab , segimana sejarah kita mengajarkan. Bukan sebagai trik dan apologi merusak , apalagi menjadi arsenal biadab bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu.
Radhar Panca Dahana , Budayawan
0 Response to "Kumpulan Opini Kompas: Budaya Demokrasi Kita"